Mohon tunggu...
Aldo Manalu
Aldo Manalu Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

Lelaki kelahiran Bekasi, 11 Maret 1996. Menekuni bidang literasi terkhusus kepenulisan hingga sampai saat kini.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aretha (You Are My Real Dream)

10 Juli 2019   14:23 Diperbarui: 10 Juli 2019   14:36 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: tabloidnyata.com

            Aku tidak mempedulikan basa-basi dari ibu tapi yang kulihat sekilas respons Aretha begitu terkejut mengetahui aku ada di sana. Dia seolah tidak bisa menutupi rasa ngeri saat melihat diriku. Saat ayah sedang lengah, tanpa tendeng aling-aling aku langsung menghunus pisauku lalu menghunjamkannya ke bagian punggung ayahku.

            Mulutnya mengeluarkan rintihan kesakitan saat pisau yang kuhunjamkan menembus punggungnya. Aku mendaratkan pisauku berulang kali ke bagian punggungnya. Ayah merintih lebih keras ketika pisauku mendarat untuk ketiga kalinya. Ibu berusaha menghentikanku dengan mencoba membujukku tapi sayang. Aku menyabetkan pisau ke bagian perut Ibu. Lelehan darah memancar lalu merembes ke dalam serat kaus oblong yang dikenakan ibuku. Ayah dengan menahan rasa sakit di punggungnya mencoba mengunci pergerakan tanganku untuk mengambil pisau yang masih kukuasai.

              "Aretha tolong bantu aku! Bantu aku menghabisi mereka berdua!" perintahku padanya. Aku masih meronta-ronta agar kuncian ayah bisa sedikit longgar lalu memberikan serangan balik.

            Aretha masih bergeming. Ia terlihat belum berbuat apa-apa atau mengambil tindakan apapun.

            "ARETHA!" pekikku memanggil namanya.

            Perempuan berkulit putih itu tertunduk. Aku lagi-lagi tidak paham apa yang sebenarnya dia lakukan. Sambil menunggu respons Aretha, aku masih berusaha melepaskan diri dari ayahku. Sementara itu ibu memegangi luka sabetan yang masih mengeluarkan darah. Aku merasa kuncian ayah tidak sekencang pertama kali. Ia kelihatan sudah mulai kehilangan tenaga karena darah terus mengucur dari luka tusuk di punggung dan bahu.

            Aku mengangkat tungkai kakiku lalu mendaratkan tendangan belakang ke arah betis dan kemaluan ayah. Begitu ayah mengaduh kesakitan, aku menekukkan tangan kananku lalu mendaratkan sikutan tajam ke bagian rahang. Dan tentu saja badan ayah langsung ambruk ke samping. Ia tak mampu menahan keseimbangan. Aku harus memanfaatkan kesempatan emas ini untuk menghabisi ayah.

            Aku menyunggingkan senyum keangkuhan menyaksikan ayahku terbaring di atas lantai marmer. Aku mengangkat pisauku tinggi-tinggi. Seolah memperlihatkan bahwa nyawanya ditentukan oleh pisau yang kupegang saat ini.

            "Halo Pak Polisi. Saya melaporkan bahwa ada seorang lelaki bernama Alvaro sedang melakukan pembunuhan brutal pada kedua orang tua saya. Alamat rumah saya di jalan Kenanga nomor 7A. Saya harap pak polisi segera menuju ke sini. Saya---"

            "Aretha, apa yang kau lakukan?!" yang tadinya pisauku akan menembus jantung ayahku malah terhenti karena Aretha menelepon polisi, "kau tega membiarkan kakakmu yang menyayangimu membusuk di penjara, hah?!"

            "Lebih baik kau membusuk di penjara daripada aku harus hidup bersama obsesi gilamu untuk menyetubuhi adikmu dengan alasan kasih sayang!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun