Mohon tunggu...
Aldo Manalu
Aldo Manalu Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

Lelaki kelahiran Bekasi, 11 Maret 1996. Menekuni bidang literasi terkhusus kepenulisan hingga sampai saat kini.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hujan Ketiga

9 Juni 2019   21:21 Diperbarui: 18 Juni 2019   20:55 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kuperhatikan dengan seksama. Sketsa tubuh itu sesuai dengan bentuk tubuhku. Itu terbukti saat aku mencoba tergeletak lalu berpose seperti gambar sketsa itu. Pas. Pas sekali dengan ukuran tubuhku. Aku menggigil ketakutan. Aku hampir saja tidak bisa menahan beban tubuhku. Hampir roboh. Aku mencoba bertahan. Sedikit lagi aku hampir tiba di kafe itu.

Aku menembus begitu saja pintu kaca kafe yang menghalangi jalanku. Seperti biasa, tidak terlalu banyak pelanggan yang menikmati suasana kafe. Aku mengitari seisi kafe guna mencari sesuatu yang bisa menjadi jawaban atas pertanyaanku. Tapi apa yang kucari tidak ada di sana. Aku memilih bersandar di sebuah rak buku yang terletak tak jauh dari meja kasir. Bola mataku tertuju pada dua lembar kertas yang terselip dalam sebuah buku. Aku menarikdua kertas bergambar itu dan mengamatinya perlahan.

***

September, Oktober, November, Desember. Empat dari nama duabelas bulan yang berakhiran dengan 'ber'. Selalu diidentikan dengan hujan. Dan memang begitulah adanya. Hari keduabelas di bulan September, aku memberanikan diri menyatakan perasaan pada Eliza. Ruang UKM di tengah deraian air hujan menitik dari langit, menjadi saksi bisu kalau aku sudah melesatkan panah cinta tepat di relung hatinya. Eliza sempat tertegun sejenak. Ia menunduk, tak berani menatap wajahku. Aku juga membisu. Menanti jawaban setelah aku mengutarakan semuanya.

Selama lima belas detik aku menunggu kata-kata keluar dari mulutnya, kini Eliza mulai bicara. Aku bercampur aduk dalam perasaan tak tentu dan bimbang menanti jawaban macam apa yang keluar dari bibir tipis indahnya. Dia bilang dia akan menjawabnya pada saat hujan ketiga. Aku sempat berpikir keras dengan maksud kata 'hujan ketiga' dari Eliza. Perempuan itu juga bilang kalau aku harus menggambar potret wajahnya dengan teknik melukis yang paling sulit kukuasai. Aku sempat punya pikiran kalau gadis ini sepertinya mempermainkanku dengan istilah yang tidak masuk akal dan permintaan yang juga tak masuk akal. Tetapi aku tepat meneguhkan hati dan pikiranku kalau ini merupakan salah satu upaya untuk memperjuangkan Eliza. Aku pun menyanggupi permintaannya.

***

Setiba aku di rumah, aku merebahkan diri di atas kasur. Aku melipat kedua tanganku di belakang kepalaku. Yang pertama harus kupecahkan adalah arti dari hujan ketiga yang dimaksud Eliza. Aku mencoba berpikir dengan logika Eliza. Pertama, bulan ini adalah bulan September. Kedua, untuk awal minggu di bulan September, hujan baru pertama kalinya turun.

Lalu aku harus menggambar potret wajah Eliza dengan teknik melukis yang paling sulit kukuasai. Memang ada dua teknis melukis yang belum kukuasai dan masih sedang kupelajari. Teknik melukis dengan titik-titik dan teknik arsiran datar. Aku belum tahu kapan aku bisa menyelesaikan lukisan wajah Eliza dengan menggunakan teknik itu.

Aku mengambil kesimpulan mungkin saja Eliza menyuruhku menyelsaikan lukisan wajahnya sampai waktunya hujan turun pertama kali di setiap awal bulan. Dan bisa saja Eliza memberikanku waktu sampai tiga bulan. Dengan kesimpulan yang sudah kuyakini benar, aku mencoba menjawab tantangan dari Eliza.

Bergulat dengan kepayahan dan kesulitan, aku jatuh bangun menyelesaikan lukisan wajah Eliza. Sempat dalam hati dan pikiran, solusi 'menyerah dan berpikiran bahwa Eliza sedang mempermainkan aku' menjadi pilihan kala aku hampir di titik nadir. Tapi aku berusaha memantik semangat dan optimisme kalau apa yang kulakukan ini akan menyentuh hatinya. Dengan segenap tekad yang kugenggam dalam hati, aku meneruskan lukisan ini sampai akhirnya aku bisa menyelesaikannya.

Lukisan itu sudah kubingkai dan kukacakan bagian depannya. Lukisan ini tepat kuselesaikan di hujan pertama di awal bulan November. Tepat di hari ini juga rintik-rintik yang tak terhitung jumlahnya turun dari awan gelap. Aku menunggu rintik-rintik itu mereda. Aku mengirup aroma basah hujan yang menyarati awang-awang. Terasa lembut dan menyejukkan hati. Aku ingin menerobos hujan ini menuju tempat biasa kami berdua bertemu---LibCafe.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun