Mohon tunggu...
Aldo Manalu
Aldo Manalu Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

Lelaki kelahiran Bekasi, 11 Maret 1996. Menekuni bidang literasi terkhusus kepenulisan hingga sampai saat kini.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Distopia Negara Berkembang

27 Mei 2019   14:57 Diperbarui: 27 Mei 2019   15:03 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www.pinterest.com 

Di jalan ini, aku menemui kekacauan

kekacauan itu berwujud;

Kulihat seorang anak kecil,dekil nan kurus menangis.

Dia menangis pilu menggoyang-goyang raga sang ibu yang telah tiada

Sang ayah entah ke mana. Berpamitan pada dua anaknya kalau dia akan mencari remah nasi dan biskuit.

Mana bisa aku menahan air mata ini agar tak meluncur deras

Mataku tak bisa berpaling ketika sekerumunan orang membabi buta menggerakkan tangan-tangan penuh darah dan memar pada seorang lelaki yang memegang simbol kepercayaan dan kitab sucinya

Kudengar lagi mereka bilang, "Lelaki itu akan masuk neraka."

Mereka bilang lagi, "Tidak ada yang boleh selain golongan kami."

Pria malang itu diam-diam beribadah dan membawa barang terlarang menurut paham mereka.

Kuberpaling lagi. Mereka tengah mengadili para pezinah, pembunuh dan pencuri

Para pezinah dilempari batu sampai darah mereka mengucur di kepala mereka

Para pembunuh dihukum sesuai dengan cara mereka membunuh

Para pencuri meraung-raung, menahan perih luar biasa saat mereka sadar kedua tangan mereka tak lagi ada

Tiada yang lebih horor daripada pemandangan sakit jiwa ini

Kembali kulihat sang ayah malang tengah memperebutkan sekarung beras dan seekor ayam dari tangan seorang kakek ringkih

Sang kakek berusaha keras mempertahankan apa miliknya

Sang ayah anak malang tadi, sudah kalap lalu pisau yang terselip di pinggangnya menjadi penebas nyawa si kakek ringkih itu

Lalu kulihat para penguasa tertawa gembira di gedung-gedung tinggi pencakar langit

Mereka berpesta, menikmati santapan lezat dan bisa ditambah sesuai keinginan mereka.

Busana mereka dari kain berkilap dengan benang berlapis emas dan suasa.

Yang mereka nikmati tak sebanding dengan makanan para rakyat jelata yang sengsara.

Yang mereka pakai tak ada bandingnya dengan pakaian yang melekat begitu saja di tubuh mereka.

yang mereka kerjakan hanya memanipulasi undang-undang dan aturan keagamaan

demi meluluskan ambisi tahta dan harta

Mereka memecah belah agar masyarakat marah

saling berperang dengan saudara mereka sendiri.

Lalu mereka muncul bak pahlawan yang memberik angin perdamaian

padahal hanya tipu muslihat

padahal mereka yang menginginkan negara berdiri berdasarkan apa yang mereka mau

Setelah begini, ke mana perdamaian yang mereka serukan?

Setelah begini, ke mana toleransi dan saling mengasihi yang mereka teriakan?

Siapa yang bertanggungjawab atas kekacauan tiada henti ini?

Siapa yang mau menanggung penderitaan mereka yang tersiksa dan sengsara?

Aparat keamanan pun tak bisa memberi keamanan kala warga jugalah yang menebar konflik atas kekacauan yang mereka buat?

Lalu apa arti sebuah negara,

Apa arti bangsa,

Apa arti penguasa kalau akhirnya harus binasa?


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun