Mohon tunggu...
Aldo Manalu
Aldo Manalu Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

Lelaki kelahiran Bekasi, 11 Maret 1996. Menekuni bidang literasi terkhusus kepenulisan hingga sampai saat kini.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bohemian Rhapsody

11 Februari 2019   20:31 Diperbarui: 11 Februari 2019   21:20 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.pinterest.com/bobdewald

Walau kejadian tadi malam membuat dadaku berdebar-debar, aku mencoba bersikap biasa. Aku memakai baju dinasku untuk segera pergi bekerja. Tapi ketika aku akan menaruh dompet ke dalam saku celana, air wajahku berubah dratis. Aku tak melihat dompetku berada di kantong celana jins yang kukenakan tadi malam.

Apa mungkin... jatuh?Aduh bisa gawat kalau sampai mereka dapatkan itu! Argh! Aku terus merutuki kemalanganku. Aku tak bisa membayangkan kalau sampai aku berurusan dengan polisi.

"Kak... kakak kenapa?" tanya Sisca lembut.

Begitu ditegur adikku aku langsung berubah sikap. "Eh eng-enggak apa-apa. Kakak cuman lagi sakit gigi aja." Adikku mengangguk pelan mendengar alasan yang kubuat.

"Kak, kakak semalam dengar ya ada ribut-ribut di luar? Kayaknya warga teriak-teriak ada maling gitu?" tanya Sisca padaku yang sedang mengunyah nasi.

"Hmm, enggak. Kakak enggak dengar apa-apa kok," balasku sambil tetap berkonsentrasi pada nasi kunyahanku.

"Kak, kakak---" tak mau adikku bertanya macam-macam, aku menyela, "aku sudah kenyang. Kakak pergi kerja dulu ya, Dik. Bilang sama Mama." Aku bangkit dari kursi lalu berpaling dari adikku. Adikku benar-benar tak mengerti atau mungkin dia merasa ada sesuatu tak beres dengan kakaknya.

Aku melangkah dengan biasa menuju jalan raya. Ketika akan menuju ke rumah besar itu, aku melihat kerumunan warga dan dua mobil polisi memadati halaman depan rumah itu. Aku buru-buru mempercepat langkah kakiku. Tak mau kalau sampai orang-orang yang ada di sana bertanya padaku.

***

Awan langit mulai berurai menjadi lebih tepis. Membiaskan warna orange yang menjadi ciri khas senja. Aku melirik arloji yang baru saja kubeli menunjukkan pukul 17.02. Di tangan sebelah kiri, aku menenteng plastik putih berisi obat herbal Cina. Harga obat ini berkisar dua ratus ribu. Uang hasil curianku lebih dari cukup untuk membeli obat-obatan Ibu. Bahkan dengan uang itu, aku membeli dua stel kemeja lengan panjang, dua stel celana jins, gel rambut dan parfum bermerek.

Sesampainya di rumah, bola mataku membeliak. Tiga orang pria berseragam polisi sedang berada di ruang tamu. Aku berjalan pelan-pelan sambil bertanya dengan sopan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun