Aku harus berhati-hati, ucapku dalam hati. Akan tetapi di situlah awal bencana. Karena suasana ruang tamu begitu gelap, tanganku tak sengaja menyenggol guci porselen hingga membuat guci itu terbelah berkeping-keping. Sontak aku ikut terkejut. Kamar tidur si pemilik rumah segera terbuka.
Si lelaki menekan sakelar lampu. Lampu pijar berpendar terang. Ia berjalan menuju sumber suara guci pecah itu lalu diamatinya secara seksama. Tapi disadarinya aku sudah berdiri di belakang sambil menodongkan pucuk pistolku pada kepalanya.
"Selamat malam, Pak," sapaku padanya.
"Mau apa kau kemari?! Mau maling ya?!" tanyanya penuh kewas-wasan.
"Aku ke sini mau minta hartamu sedikit saja untuk biaya berobat ibuku. Boleh?"
"Tidak! Biarkan saja ibumu mati! Dasar miskin! Anak koruptor kelas kakap!" Caciannya begitu panas di telinga dan di hatiku.Melihatku yang agak lengah, si lelaki lajang tua buru-buru berlari menjauhiku. Mungkin ia ke kamarnya untuk melindungi hartanya.
"Dasar orang serakah!" Aku membidik pistolku di kepala bagian belakang. Dalam dua kali tembakan, ia sudah roboh bersimbah darah. Begitupasti kalau ia sudah tak bernyawa, aku melangkah menuju kamar guna mengambil harta-harta yang dia simpan di sana.
Dalam tempo 30 menit, aku sudah keluar dari rumah itu. Namun hampir lepas jantungku ketika ada dua orang pemuda tanggung tak sengaja melihat aksiku melompat pagar.
 "Maling!" Ketika salah satu dari mereka memekik, aku cepat-cepat berlari meninggalkan merekamenuju hutan. Sebenarnya aku bisa saja menembak mereka akan tetapi aku sudah terlambat menyadarinya. Kutambahkan kecepatanku berlari walau terkadang kakiku tersandung batu dan hampir goyah, yang terpenting jangan sampai tertangkap oleh mereka.Â
Untungnya aku memegang kunci cadangan rumah. Dengan serba gelagapan, aku membuka engsel rumah. Kamar ibu dan adikku masih gelap. Menandakan kalau mereka sudah terlelap. Tanpa menukarkan pakaianku, aku langsung melompat ke arah ranjang reot lalu menundungi diri dengan selimut hijau.
***