Mohon tunggu...
Aldo Manalu
Aldo Manalu Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

Lelaki kelahiran Bekasi, 11 Maret 1996. Menekuni bidang literasi terkhusus kepenulisan hingga sampai saat kini.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bohemian Rhapsody

11 Februari 2019   20:31 Diperbarui: 11 Februari 2019   21:20 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.pinterest.com/bobdewald

"Mama tahu kamu pasti sedih melihat keadaan Mama saat ini ditambah lagi dengan keadaan kita yang seperti ini. Tapi kamu tidak perlu khawatir. Mama pasti akan sembuh. Mama berterimakasih dengan obat yang kamu beli, Nak. Itu sudah lebih dari cukup." hibur Ibuku. Matanya terlihat sayu. Terlalu sayu. Mungkin mulutnya berkata kalau dia akan segera sembuh. Tapi bahasa tubuhnya tak memunjukkan perubahan signifikan.

Aku akan mengupayakan kesembuhan Mama. Aku akan membawanya ke rumah sakit. Kalau dia sembuh, pasti Mama akan kembali berjualan dan bisa membiayai sekolah Sisca tapi itulah masalah. Kami tidak punya uang untuk berobat. Aku harus dapat uang banyak darimana?

Begitu lama aku berkutat dengan pikiranku sendiri, ada satu sisi membisikkan sesuatu dekat di telingaku.

Kau tahu lelaki lajang tua yang tinggal di rumah mewah itu? Kenapa kau tidak coba mengambil hartanya? Hartanya tak hanya cukup biaya berobat ibumu tak cukup untuk memenuhi kebutuhanmu, kawan. Lagipula kau bisa sekalian membalaskan dendammu padanya atas perbuataannya yang selalu melecehkan keluargamu ya kan?

Ada benarnya juga yang dikatakannya. Aku pun sudah lama memendam dendam pada lelaki lajang tua itu. Mungkin Tuhan sedang memberikanku kesempatan untuk membalaskan apa yang sudah dilakukannya padaku. Dan aku sudah tahu bagaimana cara untuk membalaskan itu semua.

***

Aku mengamati sebentar keadaan ruang tamu. Tidak ada satu langkah kaki terlihat di sana. Suasana gelap gulita. Aku bisa keluar lebih leluasa karena jam dinding menunjukkan pukul 00.30. 

Aku mengendap-endap menjauh dari rumah. Kulihat kondisi rumah di sekitarku. Banyak rumah sudah mematikan lampu dalam. Menandakan mereka sudah tidur. Tapi begitu aku melanjutkan langkah, kulihat pos kamling dijaga dua orang lelaki paruh baya. Mereka berdua tengah serius main catur. Tanpa berpikir lama-lama aku memutar jalan menuju daerah hutan untuk menghindari kemungkinan kalau aku akan dipergoki.

Meskipun keadaan hutan begitu remang, tidak membuat nyaliku menciut. Malah ini semakin menumbuhkan semangatku untuk sampai ke rumah mewah itu. 

Satu setengah kilometer kutempuh jalan berumput dan gelap, aku tiba di depan rumah targetku. Sebelum memanjat pagar, kedua bola mataku mengitari keadaan sekitar. Kulihat seekor anjing Herder tengah tertidur. Aku membatasi pergerakanku lalu menarik pelatuk pistol, mengeker kepala anjing itu. Ketika anjing itu akan bangun, ia sudah tergeletak di atas tanah dengan kepala berlumuran darah.

Aku menyiapkan ancang-ancang untuk melompat. Kedua kakiku telah mendarat sempurna di atas tanah. Kini aku harus berhati-hati mengatur langkah kakiku. Sepertinya Dewi Fortuna sedang menyertai aksiku ini. Salah satu jendela rumah ini tidak terkunci rapat. Agak kutarik sedikit dan akhirnya terbuka. Aku diam-diam menyelinap ke dalam ruang tamu. Ruangan tamu begitu gelap akan tetapi lampu di salah satu kamar di lantai dasar menyala. Aku yakin kalau pemilik rumah belum tidur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun