Mohon tunggu...
Aldo Manalu
Aldo Manalu Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

Lelaki kelahiran Bekasi, 11 Maret 1996. Menekuni bidang literasi terkhusus kepenulisan hingga sampai saat kini.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bohemian Rhapsody

11 Februari 2019   20:31 Diperbarui: 11 Februari 2019   21:20 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.pinterest.com/bobdewald

Aku buru-buru mengusap tetes air mata yang jatuh tanpa kusadari. Kulihat pemilik rumah sudah menampakkan diri di hadapanku.

"Ngapain kamu di depan rumah saya?! Mau mencuri ya?!" tuding lelaki paruh baya pemilik rumah besar itu.

"E-e...ti-tidak Pak. Kebetulan saya numpang lewat saja dan tak sengaja berhenti di depan rumah Bapak," sangkalku.

"Awas ya kalau kamu mau macem-macem! Saya lapor kamu ke polisi!" ancam lelaki itu sambil berpaling meninggalkanku. Aku hanya mengangguk tanggung lalu cepat-cepat pergi dari sana.

Setelah kematian ayah, barulah aku tahu kalau ayah juga punya utangupah pegawai perusahaan garmen dan pabrik susunya sebesar 3 miliar. Belum lagi membayar uang denda akibat korupsi ayahku. Terpaksa keluargaku menggadaikan pabrik dan rumah untuk membayar itu semua. Ibu yang punya sedikit uang di tabungan memutuskan membawa kami ke desa, membangun rumah kecil, tempat kami tinggal saat ini.

Tapi bukan berarti bebanku hilang begitu saja. Karena keadaan ekonomi kami yang morat-marit, aku terpaksa mengubur impianku dalam-dalam untuk berkuliah karena keterbatasan biaya. Ibuku bahkan sampai membuka kedai kopi sederhana untuk biaya sekolah adikku. Ibu berkata bahwa adikku, Sisca, harus bersekolah sampai tamat SMA.Untuk mewujudkan apa yang diinginkan ibu, aku melamar kerja sebagai pekerja di sebuah toko kelontong meskipun bayaran yang kuterima tidak seberapa bahkan untuk lepas makan selama dua minggu.

***

Hidup seakan belum puas memberikanku variasi cobaan. Mereka terus berdatangan tanpa menunggu apakah aku sudah siap menghadapinya atau belum. Sudah tiga hari ibu mengalami malaria. Ia masih terbaring lemah di atas ranjang berselimut merah tebal. Gigi atas dan bawah bergetar-getar, menimbulkan suara gemelutuk. Suhu badannya cukup tinggi hingga membuatku khawatir kalau kondisinya bisa saja semakin memburuk.

Di samping ranjang ibu, aku tertunduk lesu.Menjaganya apabila dirinya perlu bantuanku. Aku membenamkan diri sambil menangis dalam diam. Ibu yang baru terbangun dari tidurnya, mendengar suara tangis tertahan. Dan ia yakin kalau itu berasal dari suara putranya.

"Apakah itu suara tangisanmu, Nak?"

Begitu ibu menyadari suara tangisku, aku buru-buru mengusap air mataku lalu menengok ke arah ibu. "Tidak, Ma, tidak. Itu bukan suaraku."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun