Reonald mengenakan kemeja lengan panjang biru tua dengan setelan luar tuksedo. Celana panjang satin batas mata kaki menambah kesan gagah dan berwibawa lelaki berambut klimis itu. Dia menorehkan senyum tipis pada orang-orang yang melihatnya.
"Wis, gua enggak nyangka teman gua yang dulunya culun abis, bisa manly one hundred percent kayak gini? It is unbelieveable transformation," kagum Stansel, lelaki berambut belah tengah dengan kumis tipis di atas bibirnya.
Reonald tersenyum tipis sambil menepuk pundak Stansel berkata, "Aku yang dulu bukanlah yang sekarang. Aku yang sekarang itu bisa seperti ini berkat doa dan kerja keras serta tantangan yang aku hadapi."
Stansel menggeleng tak percaya sambil memuji temannya itu. "Loe enggak ingat waktu gua ngejek loe saudara kembarnya si Cecep loe merajuk ke gua sampai kita enggak bicara hampir tiga bulan padahal niatan gua cuma bercanda doang."
"Tapi kadang elo bercandanya suka keterlaluan makanya gua sampai merajuk, diam-diaman sama loe tiga bulan lamanya. Tapi udah deh itu cerita lama sekarang loe nikmatin pesta reuni ini. Makan, minum, nyanyi sepuas loe," respons Reonald sambil mengangkat gelas kaca yang berada di tangannya.
Teman-teman Reonald mengangkat gelas yang berada di tangan mereka masing-masing. Menyulangkan gelas hingga terdengar dentingan kaca berbenturan satu sama lain. Mereka tertawa bersama menikmati suasana kebersamaan yang begitu hangat sambil membicarakan nostalgia masa lalu.
"Eh ngomong-ngomong, elo tadi dicariin Angelani. Katanya dia mau ngobrol bentar." Di samping Reonald, Fizhra, lelaki berkulit cokelat tua dengan rambut halus tumbuh agak lebat di kedua lengan gempalnya, mulai membuka percakapan.
"Ah yang benar loe? Masa si Angelina" tanya Reonald tak percaya.
"Ye dikasih tahu malah enggak percaya. Dia lagi nunggu kamu di balkon tingkat kedua. Dia kangen sama loe," jawab Fizhra sambil menuangkan anggur merah ke dalam gelasnya lagi.
Lelaki itu diam sejenak guna memikirkan apa yang akan dia lakukan kemudian dia bicara, "Ya sudah gua nanti ke atas guna memastikan."
Sebelum Reonald menuju tangga dia melihat temannya, Stansel, memegangi kepalanya. Ia menggeleng-geleng sambil mengerjapkan mata, menahan pusing di otaknya.