Mohon tunggu...
Aldo Manalu
Aldo Manalu Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

Lelaki kelahiran Bekasi, 11 Maret 1996. Menekuni bidang literasi terkhusus kepenulisan hingga sampai saat kini.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tumbal Arwah Jelangkung - Epilog

13 Maret 2016   19:32 Diperbarui: 13 Maret 2016   20:22 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Sepulang sekolah, Lina mengundang Heru dan Donni untuk makan  malam di rumahnya. Lina dan keluarganya akan mempersiapkan sajian makanan dan minuman khas buatan keluarganya. Tentu saja, Heru dan Donni tidak menolak ajakan yang menaikkan selera makan mereka.

Sudah kedua kalinya, Lina menatap jam analog yang terpaku di atas dinding ruang tamunya. Ia sudah mengingatkan kedua teman laki-lakinya, mereka harus datang pukul tujuh malam. Sekarang jam dinding menunjukkan pukul 07.05. Di tengah penantiannya yang begitu lama, suara ketukan pintu melenyapkan lamunannya.

Tok! Tok! Tok!

Lina berlari kecil begitu mendengar suara ketukan dari luar. Ia sudah menduga kalau tamunya tak lain adalah Heru dan Donni—dan itu benar. Mereka berdiri di hadapan Lina. Mereka sama-sama mengenakan kemeja bermotif kotak-kotak berlengan panjang namun perbedaannya terletak pada warna.

“Wah, tidak biasanya kalian rapi seperti ini,” puji Lina sambil mempersilakan mereka masuk.

“Namanya juga tamu. Tamu adalah raja. Tidak mungkin ‘kan, seorang raja memakai busana yang koyak-koyak?” 

                “Hahaha, benar juga tuh. Ayo cepat ke dapur, ibu dan ayahku sudah lama menunggu kalian.”

                Ketiganya mempercepat langkah menuju dapur. Di sana, ayah dan ibu sedang mengobrol sembari menunggu kedatangan putri sulung mereka. Rafly, adiknya Lina, sedang memainkan gadget-nya.

                “Ayah, Donni dan Heru sudah datang,” panggil Lina. Ayah Lina menoleh sejenak pada putrinya.

                “Oh cepat duduk, nak. Kalian hampir saja melewatkan makan malam gratis.” gurau ayah Lina. Mereka tertawa renyah merespon gurauan ayah Lina. Sebelum mereka menyantap hidangan, ayah Lina memimpin doa terlebih dahulu.

                Semua menu yang disajikan di atas meja makan, merupakan menu kesukaan mereka. Ikan nila panggang berolesankan sambal cabe rawit, tak henti mengepulkan uap hangat di hadapan wajah Heru. Heru tak mampu menahan selera laparnya lebih lama. Ia langsung mengambil sepotong ikan panggang lalu diletakkan di atas piring kacanya. Donni menyambar mangkuk besar berisi opor ayam yang tersedia di depan matanya. Makan malam yang benar-benar nikmat bagi kedua lelaki itu. Apalagi, ditambah segelas es kolang-kaling. Lengkaplah sudah kenikmatan dunia. 

                “Oh aku sempat lupa, bagaimana dengan mas Payino? Apakah mas Payino sudah ditahan oleh pihak kepolisian?” tanya Lina seraya menelan kunyahan nasinya.

                “Polisi tidak bisa menahan mas Payino karena belum ada keterangan dari pihak ibu Hesty. Dan kalian tahu, ibu Hesty hampir saja membunuh istri dari ayahnya almarhum Prakoso, teman kita.” Tatapan mata orang tua Lina kini tertuju pada Heru.

                “Benarkah?” sela Lina. Heru mengangguk kecil menjawab pertanyaan temannya. “Tapi syukurlah, beliau sudah sadar dari koma.” ungkap Heru.

                “Satu lagi, apa yang terjadi setelah polisi menemukan ibu Hesty?” sambung Donni.

                “Kalau itu...”

                Sebuah terali besi dingin membatasi dirinya dengan dunia luar. Seorang wanita dengan tatapan mata cekung, terus saja menangisi boneka yang sudah rusak di bagian badannya. Ia menimang-nimangnya seperti sedang menenangkan anak bayi yang menangis ingin diberi asupan gizi.

                “Cup, cup anakku, jangan menangis. Ibu di sini kok. Ibu di sini,” ia terus menatap nanar boneka perempuan yang sama sekali tidak mengeluarkan suara tangisan sedikit pun. Mulut kecilnya terkatup erat dan membisu. Bola mata plastiknya tidak meneteskan setitik air mata pun. Ia hanya benda mati yang diperlakukan tuannya seperti manusia biasa.

                “Kamu kenapa sih dari tadi diam melulu?! Kamu enggak dengar, ya, apa yang ibu bilang tadi, hah!” ia mengguncang tubuh boneka berulang kali berharap boneka itu akan merespon pertanyaannya. 

                Hestyani Firiawan—seorang pasien rumah sakit jiwa yang baru satu hari berada di sana. Semenjak dirinya sadar, ia selalu saja meraung-raung sambil memanggil nama anaknya. Bahkan, ia sempat menjambak rambut salah satu seorang polisi yang akan membawa bonekanya ke kantor polisi. Melihat tingkah lakunya yang brutal, mereka memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit jiwa.

                “Dasar kurang ajar! Ibumu sudah lelah bertanya, tetap saja enggak mau dijawab! ANAK MACAM APA KAMU INI?!” makinya sambil melempar boneka itu ke sudut kamar. Ia merangkak perlahan menuju ranjang sambil memeluk kedua kakinya yang telah dilipat hingga menutupi wajah.

                Rambut panjangnya kusut berantakan. Ia tak seperti Hesty yang dulu, selalu berpenampilan anggun dan menarik perhatian orang lain. Sekarang, ia tak lebih dari seorang perempuan gila dan menakutkan yang sering berkeliaran di jalan-jalan kota besar.

                Suhu di ruangan remang-remang berukuran 3x4 meter menurun dratis. Hesty mendongakkan wajahnya sambil memutar-mutarkan kepalanya mencari sumber keanehan yang pelan-pelan mencekam dirinya. Belahan bibir pucatnya gemetar tak karuan. Pandangan matanya tak bisa lepas dari sosok perempuan bergaun hitam yang berdiri tepat dari hadapannya.

                “Ibu...,”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun