Hawa mistis kembali menyelimuti ruang dapur. Bola mata Shanti tak senjaga melihat sekelebat bayangan hitam melintas di belakangnya. Shanti sontak terlonjak. Ia meraih tali tas selempang yang diletakkan di atas kursi makan dan beralih ke rumah tamu menemui teman-temannya.
               “Shan, lama banget sih di dapur,“ bisik Lina sambil menyikut pinggang Shanti.
               “Tadi aku kebelet kencing. Makanya, aku sempat lama di dapur.“ tutur Shanti ke Lina.
Pak Brahman menyampaikan rasa belangsungkawa mereka kepada keluarga Indra yang masih dirundung kesedihan. Donni, sang ketua OSIS,menyerahkan uang sumbangan dan langsung diberikan kepada keluarga Indra. Selepasnya, mereka berpamitan pulang sambil menyalami keluarga Indra satu per satu.
               “Hallo,“ handphone Lina berbunyi dari dalam kantong bajunya.
               “Hallo Lin, bagaimana, kita jadi datang ‘kan di restoran?“
               “Oh ya, Fan. Jadi kok. Ini aku dan Shanti baru saja pulang melayat dari rumah Indra. Sebentar lagi kami ke sana kok.“
               “Baguslah. Aku tunggu kalian jam lima sore. Jangan sampai telat.“ tutup Fanny sambil me-nonaktif-kan handphone-nya.
               “Ok ok.“ Lina menyimpan kembali handphone-nya.
               Shanti menghampiri Lina.
               “Dari Fanny, Lin?“ tanya Shanti.