[caption caption="Surat Pernyataan PGGJ harianindo.com "]
[/caption]
Pendeta adalah salah seorang pemuka agama yang dihormati, disegani juga diikuti ajaran agamanya. Namun jika pemuka agama telah berubah fungsi dari hanya sekedar pemuka agama, apa yang akan terjadi? Kehidupan masyarakat mulai tidak teratur dan akan menimbulkan konflik dengan dasar SARA yang selalu sensitif dan sering terjadi di negara kita.
Kemarin saya membaca sebuah artikel menarik di harianindo.com tentang beredarnya surat pernyataan Persekutuan Gereja Gereja Jayawijaya (PGGJ) di Kabupaten Jayawijaya, Papua, yang berisi penolakan terhadap pembangunan Masjid Baiturahman di Wamena.Â
Yang menarik disini surat pernyataan tersebut pertama kali dibacakan pada acara Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) yang seharusnya tidak membiarkan ketua PGGJ Pdt. Abraham Ungirwalu, S.Th membaca surat tersebut, sementara acara tersebut berlangsung dan dihadiri oleh Pemkab Jayawijaya dan pemuka agama lain yang hadir.
Jangan jadi pendeta palsu donk, alih-alih menjadikan Papua Tanah damai, para tokoh masyarakat yang bisa saja hanya mengaku Pendeta ini malah ingin memprovokasi masyarakat Jayawijaya untuk menolak pembangunan tempat ibadah lain di Jayawijaya yang justru akan menimbulkan konflik horisontal di kalangan masyarakat Jayawijaya.
Para pendeta itu adalah sebagai berikut:
1. Pdt. Abraham Ungirwalu, S.Th (Ketua)
2. Pdt. Timothius Alex (Wakil Ketua)
3. Pdt. Alberth Yappo (Sekretaris)
4. Pdt. Mathius Gombo (Wakil Sekretaris)
5. Pdt. Zakarias Kogoya (Bendahara)