Mohon tunggu...
Armin Bell
Armin Bell Mohon Tunggu... profesional -

Blogger, Orang Indonesia, Telinga - Sebuah Antologi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Errol Jonathans: Televisi Berselera Rendah

8 Februari 2011   03:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:48 905
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12971362521189648005

[caption id="attachment_89526" align="aligncenter" width="640" caption="Errol Jonathans/Admin (hurek.blogspot.com)"][/caption] Dalam sebuah kesempatan, saya beruntung bisa ngobrol santai dan menyenangkan dengan tokoh kaliber dalam dunia Radio Indonesia. Beliau adalah seorang praktisi Radio yang terkenal dengan sikap inovatif dan tidak berpikir pada aliran mainstream pada banyak hal. Salah satunya adalah ketika mulai membuat Radio Suara Surabaya yang terkenal itu; Errol memilih bermain di frekuensi FM ketika radio lain di zaman itu masih bermain di frekuensi AM. Radio yang didirikannya waktu itu juga melakukan hal tak lazim dan menjadi radio swasta pertama yang menyajikan berita produksi sendiri ketika radio lainnya masih berada di bawah ketiak RRI. Semua praktisi radio akhirnya sepakat (meski sebagian masih enggan mengakui) bahwa Radio Suara Surabaya adalah pelopor jurnalisme radio. Sikap seperti ini tentu saja memerlukan keberanian dan proses belajar yang luar biasa, karena harus diakui Errol minim pengalaman pada jurnalisme elektronik. Pengalaman menjadi wartawan di Harian Pos Kota milik Harmoko jelas tidak bisa diterapkan begitu saja di radio. Tapi Errol berhasil dan mendapat banyak pengakuan. Secara akademis, Errol jelas bukan mahasiswa yang baik. Dalam banyak tulisan, muncul informasi bahwa Errol baru berhasil meraih gelar sarjana pada usia yang sudah tua. Tetapi yang menarik adalah bahwa sebelum meraih gelar sarjana, Errol sudah menjadi staf pengajar di STIKOSA (sebelumnya AWS) di Surabaya dan sering menjadi pembicara pada berbagai event jurnalistik. Tidak heran kemudian, Suara Surabaya tidak hanya menjadi radio tetapi berkembang menjadi industri media yang besar dan memiliki wilayah ekspansi media yang sedemikian besar, seperti portal berita www.suarasubaya.net, Radio Giga dan sempat mendirikan majalah lifestyle Mossaik. Yang terakhir terpaksa tidak berlanjut karena konsepnya yang terlalu idealis dan tidak begitu menarik secara bisnis. "Dia maestro," tulis Dian Ekawati, teman saya seorang praktisi media dari Madura di akun facebook saya ketika saya menulis status tentang betapa menyenangkan bertemu Errol Jonathans. Tentu saja kesempatan bertemu lagi dengannya di Ruteng Flores, berusaha saya manfaatkan sebaik mungkin untuk menggali informasi dari tokoh yang oleh sebagian teman saya praktisi radio dianggap sebagai maestro. Saat itu Errol menjadi pembicara tunggal pada pelatihan public speaking untuk rohaniwan Katolik di Keuskupan Ruteng. Berbagai pertanyaan meluncur dari mulut saya dalam kesempatan break. Salah satunya adalah tentang apa tanggapan tokoh jurnastik tersebut pada perkembangan televisi-televisi berita di Indonesia. Dengan santun dan ramah, Errol meladeni semua pertanyaan saya. Dialog paling menarik yang saya ingat sampai saat ini adalah: "Armin, televisi kita sedang mengumbar selera terrendah manusia!" "Maksud Mas Errol?" "Manusia pada dasarnya senang dengan konflik, dan televisi menjawab itu dengan menyajikan konflik atau perang terbuka yang dibungkus dengan istilah jurnalisme. Nara sumber dibiarkan saling serang, berdebat kusir dan tidak terarah, dan presenter malah asyik memprovokasi!" "TvOne ya mas?" Sampai di sini Errol hanya tersenyum. Sebagai ganti jawaban atas pertanyaan saya, tokoh ini lalu menjelaskan beberapa konsep jurnalistik seperti Jurnalisme Sastrawi, Jurnalisme Empati dan ragam aliran jurnalisme lain idealnya berpihak pada kepentingan masyarakat. Bahwa dalam perkembangannya kita dihadapkan pada jurnalisme berselera rendah, ini karena jurnalisme tidak lagi bertanggungjawab pada perubahan sosial tetapi pada kepentingan ekonomi. Tayangan debat kusir atau narasumber yang berantem di televisi itu ber-rating tinggi, dan rating tinggi berkonsekuensi pada meningkatnya jumlah iklan yang masuk. Saya lalu ingat teori paling dasar dalam kuliah media massa tentang empat fungsi media massa; yakni: 1. Informasi 2. Pendidikan atau Edukasi 3. Hiburan 4. Transformasi nilai-nilai sosial Lalu mencoba membandingkannya dengan tayangan atau sajian media massa saat ini. Well, tampaknya memang sangat jauh melarikan diri dari fungsinya. Media massa tidak lagi dalam kapasitas menjadi kekuatan ke-4 setelah Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif dalam tatanan kebangsaan, tetapi lebih menjadi kekuatan yang meleburkan diri ke dalam tiga kekuatan lainnya untuk kepentingan bisnis. Artinya kalau pemilik modalnya adalah salah satu dari tiga kekuatan itu, maka media massa ada di sana. Dan untuk mendukung kepentingan pemilik modal yang berorientasi pada keuntungan finansial, maka tayangan berselera rendah yang mendatangkan iklan itulah yang menjadi pilihan utama. Ini baru tentang teori paling dasar, sehingga agak sulit berharap jurnalisme televisi kita akan mampu berperan sebagai Voice Of The Voiceless seperti yang dilakukan oleh media-media besar di mancanegara. Ini adalah catatan tentang jurnalisme televisi dan saya lalu membayangkan tayangan non berita di televisi yang juga senang mempertontonkan konflik berkepanjangan. Perubahan apa yang mau ditawarkan? Tidak ada. Rating kini menjadi yang utama. Beberapa saat setelah pertemuan di Ruteng, Errol Jonathans telah kembali ke Surabaya, menyibukkan diri dengan Suara Surabaya Media dan berpikir tentang inovasi baru, saya mengirim pesan singkat, "Mas, saya lagi nonton TvOne, pak Karni koq begini sih jadi presenter? Pertanyaannya aneh, melompat-lompat dan gak fokus. Nara sumbernya malah sibuk berantem." Beberapa menit kemudian saya dapat balasan, "Wah, untung Min saya nggak nonton TvOne..." Kemudian saya teringat pada obrolan kami sebelumnya, televisi kita sedang mengumbar selera terrendah manusia! Betul mungkin, bahwa naluri paling purba manusia adalah bertahan hidup dan untuk bertahan hidup dia harus mengalahkan yang lainnya. Homo Homini Lupus. Dan inilah sikap kita yang tidak ikut terlibat dalam pertandingan: Ketika ada yang kalah, kita bersorak untuk yang menang dan tidak berempati pada yang kalah. Televisi tahu itu dan menyajikannya sebagai tayangan jurnalistik lalu kita menontonnya sepenuh hati sambil berharap pihak yang kalah (berdebat) atau yang kita anggap salah akan benar-benar terpuruk. Tentang Errol Jonathans, radio yang dibangunnya telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam pembangunan di wilayah Suara Surabaya. Ketika media lain baru mencoba menerapkan Citizen Journalism, Suara Surabaya sudah melakukannya sejak lama. Kawan Suara Surabaya (sapaan untuk komunitas pendengarnya) telah lama menyampaikan isi hatinya termasuk keluhan atas situasi lalu lintasnya dan atau lambannya kinerja pemerintah via radio dan kerap langsung mendapat tanggapan berupa perbaikan atau perubahan positif. Errol Jonathans telah membawa media menjadi benar-benar kekuatan tambahan dalam trias politika yang penting maknanya untuk keberhasilan pembangunan. Saya lalu berpikir, mungkinkah suatu saat Errol Jonathans akan mendirikan televisi dan mengubahnya menjadi tidak berselera rendah? Tak ada yang tahu. Tetapi Errol benar, televisi kita berselera rendah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun