Sang surya akan segera pulang dan melipat sinarnya yang lelah memberi terang. Lembayung senja pun akan ikut pulang menggulung sinar manjanya.
Tapi di sini ada aku, tak ingin pulang. Aku masih betah bertahan di tepi jalan. Sejak pukul enam belas nol-nol sama sekali aku tak bergeming di atas kursi kedai kopi milik Daeng Nasir.
Seluruh raga mematung kecuali hanya mata dan mulut yang terlibat mengeja syair-syair terbaru. Untuk apa aku pulang, di rumah tak ada siapa-siapa. Hanya ada tembok bisu, kipas angin berkarat yang ribut dan televisi rusak.
Aku tak ingin pulang menuju kesendirianku. Menuju kesepian sepanjang malam. Karena lagi-lagi istri tercinta masih di kampung berkhidmat kepada orang tua dan membesarkan Fatimah Azzahraku.
(Catatan langit, 14/03/19)