Mohon tunggu...
Arman Bemby Sinaga
Arman Bemby Sinaga Mohon Tunggu... Dosen - Bangkit dan Bercahaya

Belajar Menulis...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Neo Devide et Impera

26 Oktober 2011   00:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:30 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Neo Devide et Impera

Penjajahan Belanda dan Portugis kini telah berganti dengan penjajah dari Amerika dan China. Bahkan Jepang masih tetap bertahan dan mungkin akan menjadi tuan abadi negeri ini. Belajar dari pola penjajah Belanda, Portugis dan bahkan Jepang yang terdahulu, penjajahan modern saat ini tetap memakai pola yang sama walau dengan kemasan, merek dan varian yang baru. Baik dahulu maupun sekarang para penjajah tetap memakai politik Devide et Impera.

Imperialisme model abad ke-17 dan ke-18 iini, kini telah berubah kemasan dengan model kapitalisme. Para penjajah saat ini tidak perlu lagi menguasai semua tanah melainkan aset-aset negeri ini. Penjajahan ala baru ini tidak lagi menatas namakan VOC tapi sudah dengan kongsi dagang baru seperti IMF, Bank Dunia, dan lembaga keuangan yang baru. Para Meneer Holand telah berubah menjadi rentenir berjudul investor yang nota bene hanya merebut harta benda negeri ini dengan cara yang lebih elegan, diplomatis dan canggih.

Penjajahan model 400 tahun silam yang hanya mengirim gubernur saat ini sudah beralih dengan pengiriman konsulat dan duta besar. Para penjajah saat ini tidak perlu lagi membawa-bawa senjata melainkan tawaran kontrak dagang. Penjajah modern ini mengawasi negeri tidak lagi dengan mengirim para tentaranya melainkan dengan meluncurkan satelit. Imperialis abad 21 ini mengawasi gerak-gerik negeri ini dengan peralatan canggih dengan merek tehnologi informasi mulai dari “walkie talkie”, internet sampai ke blakcberry.

Penjajahan ala paman Sam saat ini tetap belajar dari strategi sepupu tuanya, Belanda, dalam menguasai kekayaan alam Indonesia. Mereka tidak lagi memecah belah raja-raja dengan perang tetapi dengan ideologi. Entah kenapa, Amerika berhasil mendoktrin bangsa ini seolah musuh besar abad ini adalah terorisme, bukan komunisme, bukan innasionalisme, bukan pula materialisem atau hedonisme. Amerika memecah bangsa ini seolah banyak musuh dalam selimut di negeri ini. Amerika berhasil meyakinkan pemerintah bahwa terorisme adalah prioritas bangsa ini kalau ingin menjadi bangsa maju.

Saya heran Amerika sangat ngotot dan kooperatif untuk memberantas aksi teorisme yang selalu dihubungkan dengan agama dan tokoh-tokoh tertentu. Amerika bahkan rela berinvestasi berupa dukungan terhadap pemerintah yang membentuk pasukan densus 88, pasukan jeruk makan jeruk, menembak saudara sendiri. Saya heran seolah-olah terorisme lebih kejam dari korupsi. Amerika membantu Indonesia untuk memerangi terorisme tapi tidak pernah mau menolong Indonesia menyelesaikan masalah korupsi. Amerika tahu dengan membiarkan Indonesia tetap jadi negara korup maka bangsa ini sibuk saling tuduh, saling tipu, saling telan, saling serang dan saling sidang untuk kasus pengelapan kekayaan negara sendiri.

Saya juga heran pemerintah Amerika mau mengirim Umar Patek ke Indonesia tapi tidak pernah mau memulangkan perampok bank dan aset-aset negara ini. Pemerintah Amerika membutakan mata bangsa ini seolah korban bom bali itu lebih besar daripada korban kelaparan, korban lumpur lapindo dan korban-korban kemiskinan lainnya.

Kekuatan dan strategi politik devide et impera tidak lagi memakai politik etis “ala wong Londo” melainkan telah berubah dengan politik investasi kapitalisme. Saat ini, aset negara ini bukan hanya tergerus di perkebunan dan pertanian saja tetapi sudah merambah ke kekayaan tambang, minyak dan gas. Indonesia tidak hanya jadi kuli kebun sebagai inlander tetapi sudah menjadi kuli tambang, minyak dan gas.

Sakitnya poltikik devide et impera ala negeri koboi ini terasa pada kejadian freeport baru-baru ini. Amerika tidak perlu mengirim pasukan atau sekutunya untuk mengamankan buruh yang mogok dan minta kenaikan gaji. Mereka cukup membayar polisi dan aparat keamanaan setempat untuk membunuh para demonstran. Kalau kita waras, kita saling membunuh di tambang emas sendiri. Amerika punya nama, Indonesia punya tambang emas, rakyat punya derita. Sungguh sangat memilukan.

Tidak hanya korban freeport, pengerusan kekayaan alam yang melimpah juga sudah menjadi fenomena yang menjadi rahasia umum. Sebagian orang Indonesia menikmati keserkahan para kaum kapitalis namun sebagian besar orang-orang di sekitarnya malah menderita, menganggur dan bahkan mati kelaparan. Sedihnya hatimu ibu pertiwi melihat bapak-bapak bangsa yang berpikir pendek dan tamak sementara rakyat hidup melarat dan sekarat.

Yang membuat hati semakin pilu adalah bahawa penjajahan modern saat ini tidak hanya dari dari luar, orang dalam negeri ini pun telah ikut-ikutan memakai politik devide et impera ini. Para pemerintah memimpin dengan tangan besi. Pemerintah tinggal menurunkan pasukan satpol PP untuk menggusur, merobohkan dan mengusir teman sebangsanya. Politik adu domba ini juga sering dimanfaatkan kalau ada masalah perpolitikan. Elit negeri ini tinggal mengadu domba para kader kalau ada sengketa politik, ketidakpuasan maupun perasaan tidak adil dalam berbagi jatah. Kasus kerusuhan pemilu di bumi Papua seolah dibiarkan saja sebagai sesuatu yang biasa. Korban kerusuhan hanya gara-gara jabatan sampai-sampai anak-anak tidak sekolah. Berarti kalau tidak sekolah, anak-anak bisa jadi bodoh dan semakin mudah untuk di adu.

Saya heran seolah pemimpin negeri ini juga telah mengadu domba para bawahannya. Isu perombakan kabinet yang baru saja terjawab saat ini menujukkan kalau para elit partai dan politisi sama bodohnya dengan masyarakat yang tidak berpendidikan. Demi kepentingan pribadi bos, para staf dan pembantu dan pelayannya di adu untuk sebongkah jabatan untuk stok tiga tahun kedepan.

Pejajahan telah berganti bahkan silih berganti. Model penjajahan telah sampai berseri entah sudah episode keberapa. Kemasan penjajahan sudah dikemas dengan lebih profesional, sitematis dan canggih, tapi pola pecah-pecah dulu baru kuasai masih tetap diikuti. Banyak telah berubah dalam sistem penjajahan saat ini kecuali mental bangsa ini. Bangsa ini masih sangat kental dengan budaya menjilat, budaya feodal, budaya kuli dan budaya angkat telur. Prinsipnya, kalau saya masih aman biar saja rakyat yang lain mati kelaparan dan menderita.

Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Kapan ya negeri ini akan memiliki pahlawan yang bisa membangunkan para rakyatnya. Saya tidak berharap pada pemimpin tua bangsa saat ini. Saya lebih percaya revolusi untuk memperbaiki bangsa ini. Saya percaya rakyat harus bersatu. Kesamaan penderitaan ini harus dijadikan modal pemersatu untuk menata kembali negeri ini. Negeri ini perlu merdeka, bebas dan berdaulat, merdeka untuk menikmati kekayaan alamnya, bebas menikmati atau mengekspor kekayaan alamnya dan berdaulat untuk menetukan kebijakan dagang dan kebijakan luar negerinya. Masih maukah kita di adu domba?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun