Â
Suatu hari saya memperhatikan wajah seorang teman yang tampak muram. Namanya Ani (bukan nama asli).
"Ada apa, Kak? Murung betul kelihatannya.
Dia hanya menggeleng lesu. Gosip beredar bahwa ia telah terjebak dalam lingkaran utang. Entah itu dari fasilitas paylater, rentenir, pinjaman keluarga, dan sebagainya. Kira-kira begitulah.
Konon penyebabnya adalah gaya hidup demi menghiasi media sosial miliknya. Kalau benar, itu sungguh gila.
Pada dasarnya saya menghormati hak orang lain untuk melakukan apa saja yang mereka mau, termasuk berutang (asal tidak pinjam duit kepada saya, hahahahahahaha).
Secara pribadi, saya membenci dan menghindari segala bentuk utang konsumtif. Saya masih menoleransi utang untuk keperluan membeli rumah, membiayai pendidikan, dan modal kerja. Karena kadang-kadang apa yang saya sebutkan itu masuk kategori "apa boleh buat". Susah sekali dihindari. Meski begitu, saya berusaha sekuat mungkin menjauhi utang apa pun masalahnya.
Tapi barang-barang semisal HP, tas mewah, lemari kayu jati mahal, dan sejenisnya, saya rasa masih sangat mudah dihindari. Celakanya, benda-benda semacam ini pula yang saya amati menjadi "kewajiban" pada sebagian anak-anak muda. Sebenarnya tak hanya mereka, pada generasi saya (milenial) pun hal ini juga sudah lama berlaku.
Khusus pada generasi saya, mereka yang terlilit utang konsumtif tidak bisa dibilang orang bodoh, karena rata-rata mereka berpendidikan tinggi. Tapi kalau disebut pintar, kenyataanya mereka tampak seperti orang bego. Entahlah. Bingung saya dibuatnya.
Mungkin saya sebut saja orang-orang yang terlilit utang konsumtif sebagai kaum yang memiliki "mental miskin".
Mental miskin cirinya ada enam. Pertama, selalu merasa kekurangan. Kedua, enggan belajar dan berkembang. Ketiga, menyalahkan keadaan. Keempat, takut mengambil resiko. Kelima, pola konsumsi yang boros. Keenam, kurang empati terhadap orang lain.