Mohon tunggu...
Dicky Armando
Dicky Armando Mohon Tunggu... Administrasi - Orang Biasa

Seseorang yang bermimpi berbuat sesuatu yang luar biasa untuk masyarakat dan negara-nya.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Apakah Profesi PNS Lebih Terhormat dan Bergengsi Dibandingkan yang Lainnya?

13 November 2019   12:28 Diperbarui: 13 November 2019   19:58 841
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: Pixabay.com

Wanti sedang harap-harap cemas, karena di ruang tamu telah duduk seorang pria pilihannya. Kedua orangtua Wanti sepertinya sedang menimbang akan jadi apa calon menantunya itu kelak.

"Kamu sudah bekerja, Nak? tanya ayah Wanti.
"Sudah, Pak."
"Jadi apa kamu?" tanya ibu Wanti penuh penasaran dan pengharapan.
"Bisnis rumah makan, Bu."

Suasana hening seketika, seperti ada aura suram di langit-langit rumah Wanti. Ayah dan ibu Wanti yang merupakan pensiunan pegawai negeri saling pandang.

Ibu Wanti bertanya lagi, "Kenapa tidak jadi PNS saja?"

Anton terdiam, pria itu kebingungan. Dia merasa tidak enak kalau harus menjawab "... bukan passion hidup saya". Tapi akhirnya dia menjawab sekenanya saja, "Belum rezeki, Bu."

Suasana hening lagi. Ayah dan Ibu Wanti kembali berpandangan. Di dalam kamar, Wanti sudah merasakan firasat buruk yang amat sangat.

Singkat cerita, hubungan Anton dan Wanti tidak direstui lantaran khawatir bisnis rumah makan itu tidak mampu menghidupi keduanya. Akhirnya dua tahun yang berat dilewati oleh sejoli yang sedang patah hati.

Pada tahun ketiga, di bulan Januari tahun 2017, ayah dan ibu Wanti sedang bersenda gurau dengan seorang PNS, Wanti duduk di samping pria beruntung itu.

Wajah Wanti semakin menawan terkena cahaya lampu mewah yang berwarna putih agak kekuningan itu. Wanti kemudian segera memakai sweater, karena tidak tahan dingin.

Entah bagaimana, AC di belakang Wanti, tiba-tiba mengecil. Wanti pun membuka lagi sweater yang baru saja dikenakannya.

"Terima kasih, Nak! Sudah lama aku ingin makan di tempat ini," ujar ayah Wanti.
Si PNS senyum-senyum saja.
"Sering-sering ya, Nak!" kata ibu Wanti. Beliau begitu bersemangat.

Tak lama berselang, makanan yang mereka pesan telah terhidang di meja. Seorang wanita --karyawan restoran-- dengan sigap melayani semua permintaan keluarga bahagia itu.

"Maaf Bu Wanti, suhu AC-nya mau diturunkan lagi?" tanya Si Karyawan.

Keempat tamu itu terkejut. Dari mana ia tahu nama Wanti, tapi tak lama lagi mereka akan mengetahuinya.

"Kata Pak Anton, Bu Wanti tidak tahan dingin," ujarnya lagi.

Ayah Wanti memandang istrinya, dan Wanti terkejut, melihat Anton melambai dari parkiran mobil, dan pria itu segera beranjak pergi menaiki mobil sport yang berukuran cukup besar.

*** 

Kisah tersebut dituturkan oleh Anton (nama samaran) kepada saya, dengan sedikit tambahan "bumbu" dengan harapan inti cerita tersampaikan dengan baik.

Saya teringat lagi kisah Anton, karena dalam satu minggu ini, orang-orang menjejali saya dengan pertanyaan yang sama: "Tidak coba tes PNS tahun ini?"

Agak sulit untuk saya pribadi yang lahir di tengah keluarga yang kebanyakan bekerja sebagai PNS dan punya karier yang aduhai. Sementara saya bekerja sebagai karyawan swasta.

Sejak lulus kuliah, saya melawan arus kebiasaan keluarga yang meyakini bahwa hidup aman dan nyaman adalah menjadi PNS. Tidak dapat dipungkiri, sejak kecil sampai masa kuliah, saya tidak banyak mengalami kesulitan ekonomi, entah ada hubungannya atau tidak dengan status PNS yang melekat pada ayah dan ibu.

Saya pun sempat percaya bahwa menjadi PNS adalah sebuah jalan hidup yang menyenangkan. Sampai suatu hari seorang teman yang telah menjadi PNS, bersikap sombong dan sok superior di hadapan saya dan teman-teman lain yang bekerja di bidang yang berbeda. Setelah kejadian itu, saya berusaha menunjukkan kepada keluarga, saya bisa tetap hidup dengan layak meski bukan PNS.

Tidak semua PNS seperti teman saya yang sombong itu. Masih banyak PNS yang baik, dan PNS adalah pekerjaan yang baik, saya tahu itu. Masalahnya kemudian, di tempat saya lahir ini, PNS, polisi, tentara, dokter, pilot, dan karyawan perbankan (PPTDPKB) seolah-olah menentukan harkat-martabat seseorang. Ini mungkin tidak selalu terjadi di semua tempat, tapi di lingkungan sosial saya, ini telah terjadi. Penilaian sebagai manusia, ditentukan oleh di mana ia bekerja. Miris.

Pernah dalam suatu kesempatan, di suatu forum diskusi, di suatu tempat, di Kalimantan Barat, orang-orang yang bukan PPTDPKB, suaranya jarang didengar.

Pak Tono, seorang pengusaha bengkel, dan dulunya seorang mahasiswa cerdas yang aktif berorganisasi, tidak didengar suaranya kecuali untuk sekadar voting saja dalam memilih kepengurusan. Saya yang waktu itu masih bekerja sebagai karyawan perbankan dijadikan bendahara, padahal saya tidak lebih pintar dari Pak Tono, saya cuma anak kemarin sore yang bego dan kebetulan beruntung saja. 

Kejadian berikutnya, saya bertemu seorang dokter gigi wanita (masih di Kalimantan Barat, tanah kelahiran yang sangat saya cintai ini). Waktu itu saya sudah berencana berhenti dari pekerjaan yang lama, kemudian si Dokter bertanya, "Apa rencana setelah ini?"

"Wartawan ... saya bermimpi jadi wartawan, Bu!" jawab saya semangat.

Lalu dia menjawab dengan "Oo......" yang sangat panjang, dan terlihat dari wajahnya bahwa ia tak tertarik membicarakan tentang profesi tersebut. Meski saya sampai hari ini bukan wartawan, tapi saya meyakini, menjadi seorang wartawan sama kerennya dengan menjadi seorang PNS.

Oleh karena bukan lagi dari bagian komunitas orang dalam kategori PPTDPKB, dalam sejumlah pertemuan (tidak semua), saya dan beberapa orang lain yang bekerja dalam bidang yang "biasa-biasa saja" (karyawan swasta, pengusaha, dan lain-lain), hanya akan jadi pelengkap saja. Bahkan mungkin tidak ditunggu, hanya sekadar diundang untuk menyaksikan superioritas kaum PPTDPKB. Tapi tidak masalah, kalau pun mereka menganggap punya derajat lebih tinggi pun tak mengapa, karena itu perspektif.

Kenyataannya nanti adalah manusia dianggap hebat karena berguna bagi sesama, bukan karena merasa lebih superior. Kita masuk ke pertanyaan utama: "Apakah menjadi PNS akan dianggap lebih terhormat dan bergengsi?"

Jawaban dalam sudut pandang saya adalah seperti ini: "Menjadi seorang PNS tentu saja hebat, dan menjadi penjual gorengan juga tak kalah hebat. Menjadi tentara sangat keren, dan menjadi tukang kayu juga tak kalah keren. Menjadi dokter sangat terhormat, menjadi tenaga pembersih jalanan umum juga tak kalah terhormat. Pekerjaan yang tidak bergengsi adalah sejenis pencuri, perampok, koruptor, dan sejenisnya. Jadi berhentilah menilai manusia berdasarkan rezekinya."

***

Dicky Armando, S.E.-Pontianak

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun