Mohon tunggu...
Dicky Armando
Dicky Armando Mohon Tunggu... Administrasi - Orang Biasa

Seseorang yang bermimpi berbuat sesuatu yang luar biasa untuk masyarakat dan negara-nya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Silakan Bergaul, tapi Buatlah Dirimu Jadi Orang yang Berguna

16 Oktober 2019   12:01 Diperbarui: 16 Oktober 2019   15:58 757
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: Pixabay.com

"Temanku banyak, ada di mana-mana."

Begitu kata-kata seseorang kepada saya beberapa waktu lalu. Dia memang tipe orang yang sangat gaul, dan sering nongkrong di tempat-tempat berkelas. Punya banyak teman? Ya, sangat pantas, tentu saja.

"Ketika kau susah, pasti banyak sekali temanmu yang menolong, bukan?" tanya saya.

Dia diam. Seolah terganggu dengan pertanyaan saya, matanya meruncing. Ah, seharusnya tak perlu saya bertanya seperti itu. Urusan pribadi, tidak sepatutnya dicampuri.

"Aku minta maaf, pertanyaan itu konyol," kata saya lagi.

Nide (bukan nama sebenarnya) menggeleng sembari mengayunkan tangan kanannya ke udara. "Tak apa."

Tanpa jawaban dari Nide, saya merasa tahu jawabannya, karena itu juga pernah terjadi. Dulu, ketika masih bekerja di sebuah lembaga resmi yang bergerak di bidang riba, saya mendapatkan penghasilan yang lumayan. Efeknya, banyak kenal orang, semua mengaku teman, bahkan mengaku sebagai saudara.

Suatu ketika, saya memutuskan untuk tobat dari pekerjaan seperti itu. Kondisi keuangan saya oleng, laksana kapal terhempas ombak, dan tanpa ilmu untuk menanganinya. Pada saat itu, nyaris semua orang tak ada yang mau berurusan dengan saya kecuali satu orang (seorang sahabat semasa SMA).

Suatu kutipan di internet menyebutkan: "Perut dan dompet yang kosong mengajarkan pelajaran hidup terbaik." Saya sangat setuju dengan pernyataan tersebut. Teman yang katanya banyak, pada akhirnya hanyalah fatamorgana. Berharap dengan manusia, sama artinya dengan menanam kecewa.

***

Saya melewati sebuah kafe yang cukup berkelas di Kota Pontianak. Saat itu saya lembur, sehingga harus pulang agak malam. Di tempat tersebut, terlihat seseorang yang saya kenal. Tidak kenal dekat, tapi dulu saya pernah satu kantor dengannya.

Anto, bukan nama asli, adalah pria yang sudah menikah, satu istri, satu anak. Dan sekarang ia sedang duduk di sebuah kafe pada pukul sepuluh malam, dikelilingi kawan-kawannya yang belum menikah. Sepertinya tidak banyak yang mereka lakukan kecuali merenungi telepon seluler di tangan.

Gosip beredar mengatakan kalau si Anto ini, kapan pun teman-temannya mengajak kongko di mana saja, ia selalu siap. Entahlah benar atau tidak, saya pun tidak yakin informasi seperti ini bisa berguna atau bagus untuk dijadikan pelajaran.

Lalu saya berhenti di sebuah toko waralaba yang menjamur di Kota Pontianak. Ketika itu jam sepuluh lewat lima belas menit kalau tidak salah. Saya mendengar nama saya dipanggil dari belakang.

Ternyata istri si Anto, dia sedang membeli perlengkapan bayi dan beberapa belanjaan lainnya. "Oh, silakan duluan," kata saya mempersilakannya membayar di kasir.

"Anto mana?" tanya saya pura-pura tidak tahu, setelah perempuan itu membayar.

Dia hanya tersenyum, sambil menggeleng kecil. Lalu pergi.

"Jadi beli rokoknya, Mas?" tanya Abang Kasir.

Terlupakan sejenak, saya segera membayar lunas dan tuntas. Dan dalam perjalanan pulang, saya teringat beberapa teori yang dulu pernah terpikirkan tentang pergaulan.

Saya sendiri bukan tipe orang mengutamakan kuantitas dalam bergaul, melainkan kualitas. Hal ini berangkat dari pengalaman ketika dulu sempat "bangkrut". Kala itu, orang-orang lebih tertarik dengan bagaimana cara saya membayar kopi saat kongko, ketimbang membantu saya mendapatkan pekerjaan lain. Tapi itu juga salah saya, terlalu berharap kepada manusia.

Ada tiga tipe orang dalam bergaul. Pertama, "Tipe Penurut" (TP). Ini adalah manusia yang takut kehilangan teman lainnya, dan berusaha diterima dengan cara apa pun. Ciri-ciri paling nampak, orang seperti ini biasanya dari kalangan ekonomi menengah, yang menyusup ke kaum borjuis. Kalau berjalan dalam barisan, dia paling belakang. Biasanya jadi pesuruh yang lebih kaya.

Kedua, "Tipe Kadang-Kadang" (TKK). Jenis manusia ini kalau bergaul, ia selalu melihat untung-rugi, dan kadang-kadang kenyamanan yang akan dirasakannya kelak. Tipe ini masih cukup waras sebenarnya, namun masih ada rasa takut kehilangan teman, namun tetap mengedepankan logika. Misalnya dia tak punya uang, ya ... dia tidak pergi kongko kecuali ada yang membayarkan. Orang yang cukup logis.

"Tipe Tak Masalah" (TTM) adalah yang ketiga. Mereka adalah orang-orang yang tidak masalah bergaul dengan siapa pun, yang penting aman untuk fisik dan psikis. Tipe ini tidak mau buang-buang waktu kongko dengan orang-orang yang cuma sibuk main telepon seluler ketimbang membahas sesuatu yang berkualitas dan "dalam".

Dalam kasus Anto, barangkali ia seorang TP, ini hanya sebuah tebakan saja. Seandainya benar, asal Anda tahu saja, hidup seorang TP sangat melelahkan. Badan capek harus tetap komitmen kongko dengan "geng", urusan keluarga juga bisa terbengkalai. Prioritas hidup banyak yang abu-abu kalau bertahan menjadi TP.

Seandainya ada yang bertanya kepada saya: "Kau tipe apa?"

"Bukan TP pastinya!" Itu jawaban saya. Saya ingin menyebut TTM, tapi khawatir dianggap sok dewasa atau sombong. Maksudnya adalah saya dulu sudah pernah menjalani tahap TP, dan tahu persis betapa sakitnya berusaha diterima dalam lingkungan sampah. Betapa bodohnya!

Saya berubah karena tahu bahwa orangtua saya mendidik dan menyekolahkan dengan baik tidak untuk menjadi sampah.

***

Dicky Armando, S.E.
Pontianak

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun