Mohon tunggu...
Dicky Armando
Dicky Armando Mohon Tunggu... Administrasi - Orang Biasa

Seseorang yang bermimpi berbuat sesuatu yang luar biasa untuk masyarakat dan negara-nya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sastrawan Versus Dokter

14 Mei 2019   13:25 Diperbarui: 25 Juni 2019   10:26 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jalan Merdeka Barat—Kota Pontianak—entah sejak kapan telah menjadi khas setiap bulan puasa. Di pinggir jalan dekat paritnya yang cukup besar, setiap malam banyak orang menjual “Sotong Pangkong”. Ya ... kata “sotong” itu sendiri adalah hewan laut golongan moluska, kelas chepalopoda, tidak bertulang belakang. Sedangkan “pangkong” (lafal melayu) artinya “pangkung”. Jika didefinisikan secara menyeluruh: sotong yang diolah dengan cara dipangkung menggunakan palu, dan dinikmati dengan sambal kacang.

Di sebuah lapak tepi parit, tak jauh dari Masjid Sirajul Islam, duduklah seorang sastrawan tak dikenal bernama Kardi. Ia sedang menikmati satu porsi sotong pangkong seharga dua puluh lima ribu rupiah. Baru saja pria bertubuh tambun itu mendapatkan honorarium dari sebuah media cetak atas jasanya menuliskan sebuah esai pendek mengenai minat puisi di Kota Pontianak. Dalam esai tersebut, Kardi menjelaskan kebanyakan generasi muda menganggap quote yang berisikan kata-kata indah sebagai puisi, dan itu adalah kekeliruan. Kira-kira begitu isinya.

Meski tak seberapa honorarium-nya dibandingkan waktu yang ia korbankan untuk riset, Kardi tetap bersyukur kepada Sang Maha Kuasa.

Kardi sangat menikmati saat-saat setelah salat tarawih di lapak penjualan sotong pangkong sepanjang Jalan Merdeka Barat, karena ia bisa mendapatkan ide-ide baru untuk karyanya ketika melihat tingkah laku banyak orang di sana.

Contoh, seperti sejoli yang duduk lesehan di depannya. Seorang pria dengan wajah biasa saja, sedang bermesraan dengan seorang wanita cantik. Kardi mengamati dengan saksama, mencoba menerka apa yang membuat lelaki itu menjadi sangat menarik. Cara bicaranya abstrak, tidak romantis, tidak pula cerdas. Namun ketika pulang, mereka menaiki sebuah mobil mewah berwarna merah dengan logo kuda jingkrak.

Sekali lagi terbukti bahwa otak wanita sangat sulit ditebak.

Di belakang Kardi—juga duduk lesehan—ada seorang tua yang sedang asyik mengisap cerutu. Orang itu mengenakan oblong berwarna putih (cocok dengan warna rambutnya). Sehelai kain sarung menutupi mulai dari pinggang sampai pergelangan kaki.

Pria tua itu tampak seperti tunawisma yang sering tidur di emperan ruko. Namun dari sela-sela jarinya, terlihat sebatang cerutu Stradavarius. Benda itu cukup sulit dibeli jika bukan orang kaya. Harganya empat ratus tiga ribu rupiah per kotak (satu kotak berisikan sepuluh batang).

Dua kotak cerutu Stradavarius tersusun rapi di samping Pak Tua yang sekarang sedang kesulitan mengunyah sotong pangkong lantaran giginya tak lagi tangguh.

Terbukti lagi, isi dompet tak bisa dikira dari penampilan.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun