Mohon tunggu...
Arlini
Arlini Mohon Tunggu... Penulis - Menulis berarti menjaga ingatan. Menulis berarti menabung nilai kebaikan. Menulis untuk menyebar kebaikan

ibu rumah tangga bahagia, penulis lepas, blogger, pemerhati masalah sosial kemasyarakatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dia Menghargaiku Bukan Dengan Pesta

7 Februari 2020   15:44 Diperbarui: 7 Februari 2020   15:56 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Mamak percaya Erwin itu anak baik. Tapi janganlah sampai nggak pesta. Orang aja semua pesta."

"Asal dia bisa ngasih 15 juta aja, tulang yang nambahin."

***

Pesta pernikahan menjadi semacam hal wajib di daerahku. Masyarakat sekitar bilang kalau pesta pernikahan jadi bentuk penghargaan lelaki pada calon istrinya. Semakin mewah pestanya, maka pria itu dianggap semakin menghargai calon istrinya. Apalagi bila gadisnya cantik, sarjana dan bersuku batak kayak diriku (itu penilaian keluargaku loh ya). Menurut orang sekitar pestanya harus lebih meriah.

Jadi mahar buat meminang gadis sih biasa saja. Tapi uang hangusnya atau biaya pestanya mahal. Setidaknya, minimal tiga puluh juta untuk biaya pesta harus disiapkan mempelai pria. Kalau memang uangnya ada ya nggak masalah. Kenyataannya, menyiapkan uang puluhan juta untuk menikah bagi rata -- rata pria lajang itu berat. Sebab gaji mereka bekerja pas -- pasan buat menjalani hidup. Kalaupun ada tabungan ya sedikit. Nggak sampai puluhan juta. Mengatasi persoalan tersebut, biasanya para pria akan minta ke orangtua atau orangtua sendiri yang merasa bertanggungjawab membiayai pesta pernikahan anak lelakinya.    

Kalau memang orangtua punya tabungan yang cukup ya nggak masalah. Tapi justru banyak orangtua disini yang rela berhutang bahkan sampai terlibat riba demi menyiapkan biaya pesta pernikahan anaknya. Ada pula yang rela menjual sawah atau ladangnya. Padahal sawah atau ladang itu merupakan sarana mata pencaharian mereka. Setelah anak menikah, hidup mereka pun susah. Seorang temanku mengaku beberapa kali dikhitbah lantas putus saat ta'aruf karena pria-nya tak sanggup menyediakan uang pesta.

Cara pandang itulah yang juga diadopsi keluarga intiku. Mamakku sebenarnya suka dengan sosok pria yang mengkhitbahku. Baru dua bulan aku dan pria itu saling kenal di lingkungan kerja. Dia manajer di sebuah bimbingan belajar tempatku ngajar. Sejak awal dia bilang siap menikah dan menginginkan istri yang bisa hidup bersama sesuai Islam. Dia seorang yang cukup mandiri dan punya bekal agama. Ini ku yakini dari latarbelakang pendidikannya. Secara jantan dia datang ke rumahku dan melamarku untuk menjadi istrinya.

Satu hal yang kurang darinya. Ya itu, tidak bisa memberi dana pesta. Sebelum datang ke rumahku dia terlebih dahulu menyampaikan secara blak blakan, "Saya berasal dari keluarga miskin. Enam bersaudara. Bapak sudah meninggal sejak saya berumur lima tahun. Kakak saya aja ada yang cuma tamat SD. Saya satu -- satunya yang kuliah. Itupun dengan biaya sendiri. Saya mau menikah. Untuk uang belanja sehari -- hari ada. Untuk sewa rumah, beli tempat tidur, lemari dan alat -- alat rumah tangga ada. Tapi saya nggak bisa kasih uang pesta. Kamu mau?"

Aku merasakan kejujuran dari ucapannya. Tak lama ku bilang bersedia. Aku memahami kalau inti dari penyelenggaraan pernikahan adalah akad nikah. Sahnya pernikahan adalah terpenuhi syarat dan rukun nikah. Sementara walimatul urs atau pesta pernikahan hukumnya sunnah. Yang dimaksud dengan walimah dalam kitab Fathul Qariib karya al-'Allamah Abu 'Abdillah Muhammad bin Qasim adalah makanan yang dibuat untuk acara pernikahan.

Karena hukumnya sunnah, maka jika tidak mampu diselenggarakan aku pikir tidak apa -- apa. Lagipula yang dimaksud oleh pria itu adalah tidak mampu membiayai pesta yang lazim diadakan yaitu ada makanan, tenda, kursi, pelaminan, pakaian pengantin dan musik.

Sementara pria itu mampu menyediakan biaya sekitar tiga juta rupiah untuk menjamu makan keluarga, tetangga dan teman -- teman terdekat pasca akad nikah. Waktu itu sekitar tahun 2012, dimana untuk ukuran daerah tempat tinggalku, uang sejumlah itu sudah cukup membiayai jamuan makan. Ini pun sebenarnya sudah terkategori sebagai walimatul urs. Sebab inti dari walimatul urs adalah berbagi kebahagiaan dengan menjamu makan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun