Mohon tunggu...
Arlini
Arlini Mohon Tunggu... Penulis - Menulis berarti menjaga ingatan. Menulis berarti menabung nilai kebaikan. Menulis untuk menyebar kebaikan

ibu rumah tangga bahagia, penulis lepas, blogger, pemerhati masalah sosial kemasyarakatan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Merdeka dalam Berprofesi

7 Agustus 2019   21:43 Diperbarui: 7 Agustus 2019   21:57 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menjalani uji penerjunan untuk menjadi sosialisator sebuah agenda bertajuk Gerakan Sekolah Menulis Buku memberi saya pengalaman baru. Saya bukan seorang yang berprofesi sebagai guru. Selama ini rendahnya budaya literasi di sekolah hanya saya ketahui lewat informasi di media. Kalaupun bersentuhan dengan pelajar, itu di luar sekolah. Namun event ini menjadikan saya bersentuhan secara langsung dengan pihak sekolah. Saya bisa melihat lebih dekat respon mereka terkait agenda lomba menulis buku ini.

Kendala utama bagi rata- rata sekolah dalam mengikuti agenda tersebut adalah biaya pendaftaran. Dana pendaftaran dinilai cukup tinggi. Baiklah, soal uang memang sensitif. Apalagi maraknya pungutan liar di masa lalu yang terjadi di institusi pendidikan membuat guru -- guru trauma. Takut kena masalah.

Meski para guru sudah diyakinkan, bahwa dana yang dikeluarkan siswa tidak akan sia-sia, karena seluruh peserta mendapat satu buah buku antologi yang di dalamnya ada karya siswa. Meski sudah diberikan masukan yang mungkin bisa jadi solusi terkait dana, mereka tetap enggan mengkoordinir keikutsertaan siswa dalam agenda ini.

Bagi sekolah -- sekolah yang tidak begitu mempermasalahkan dana lomba, muncul masalah lainnya. Ini masalah kedua, yaitu keengganan guru untuk repot mengurus proses keikut sertaan siswa. Sebab tiap sekolah butuh guru koordinator untuk mendata, mendaftarkan, mengumpulkan hingga mengirimkan karya siswa ke panitia. Disini saya merasa sedih.

Para guru tentu paham pentingnya mengembangkan budaya literasi di sekolah. Mereka tentu senang kompetisi ini menambah gairah siswanya untuk aktif dalam budaya literasi. Para siswa yang berwawasan luas lalu di masa depan mampu menggapai cita -- cita tentu membanggakan para pendidik.

Namun sensitifitas guru dalam mendidik tampaknya memudar seiring beban administrasi yang diberikan kepada mereka. Seorang wakil kepala sekolah berkata kepada saya bahwa para guru sudah lelah menyiapkan administrasi yang dibutuhkan untuk syarat sertifikasi. Mereka lelah memenuhi target mengajar yang dibebankan pada mereka.

Guru honor pun mendapat masalah semisal. Gaji yang kecil memaksa mereka bekerja lebih giat. Memanfaatkan setiap waktu luang untuk menambah pekerjaan. Baik mengajar di banyak tempat ataupun menjalani profesi sampingan sebagai pedagang misalnya. Bilapun ada guru yang tetap idealis di tengah tekanan yang ada, jumlah mereka tidak banyak. Alhasil para guru tersebut cenderung memikirkan diri sendiri. Mengajar bagi mereka adalah sekedar memenuhi kewajiban agar dapat gaji. Tujuan membersamai siswa menggapai cita -- cita pun terlupakan.

Andai jasa guru dihargai dengan gaji yang tinggi. Andai para guru diberi keleluasaan untuk fokus mengajar. Andai para guru mendapatkan cukup ilmu untuk menunjang profesi mereka. Tentu hasilnya akan lebih baik dari sekarang. Para siswa pun dapat merasakan perhatian dengan kualitas tinggi dari guru -- guru mereka.

Kapan ya para guru bisa merdeka dalam berprofesi?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun