Sistem pemilu langsung yang metodikanya sudah diatur dan menjadi baku, sulit mendapatkan terobosan baru dalam memilih pemimpin negara. Acuan baku yang sebenarnya bagaikan kapal karam, harus diterima sebagaimana sesuai dengan pengaruh aturan yang berlaku disebuah negara.
Mahkamah konstitusi tentu mengadili perkara sesuai prosedur yang berlaku. Artinya, kalau ada aktor dibalik layar (invisible hand) merekayasa pemilu, mana bisa di adili. Atau lihat kembali masalah konflik seputar penembakan di freeport yang dilakukan tentara Indonesia yang konon dibayar perusahaan, disana belum pernah ada laporan yang menyebutkan pemberi dana sebagai aktor pelanggaran HAM.
Kapal karam yang mengangkut demokrasi dalam pilpres, tentu hasilnya tidak berarti bagi perubahan indonesia lima tahun kedepan. Sudah diantar pula oleh karamnya kapal tersebut, kebanyakan pemilih Indonesia mengharapkan hasilnya ketimbang kualitas dari hasil itu. Sehingga, tak bisa ganti kapal yang tua dan rusak itu dan hanya didengungkan sebagai suara terbanyak, sudah demokratis, beda suara tipis yang penting jagoanya unggul.
Protap pilpres sampai sekarang ya itu saja. Kalau ada pelanggaran yang belum ditindak lanjuti penyelenggara, opor sampah itu ke jenjang lainnya biar diurus. Perkara masuk Mahkamah Konstitusi-MK, keputusannya paling seputar sengketa, lebih dari itu tidak mungkin. Kalaupun ada kecurangan, sudah pasti pemilu ulang hanya di titik perkara itu. Jadi, kalau Amerika titipkan boneka mereka ke Indonesia sebagai presiden, ya terima saja, karena itu suara terbanyak.
Drama demokrasi di atas kapal karam ini hanya berakhir seketika kemampuan elemen bangsa punya sensivitas yang kuat akan penolakan intervensi apapun kepada sebuah negara berdaulat. Masalah Papua mampu di atasi bila negera indonesia sendiri sudah kuat. Kalau tidak kuat, pemimpin baru hanya akan menjual Papua demi eksploitasi yang serakah, dengan alasan bahwa demi kesejahteraan rakyat, padahal, orientasi kapitalisme itu mengais untung.
Periode mendatang, dengan hasil pilpres yang telah ditetapkan, dapat di pastikan bahwa sebagian orang-orang Indonesia sudah puas, sementara lainnya belum mengakui hasil ini.
Supaya menutupi jalan kapal karam yang mengangkut demokrasi, pilpres tahun 2019 mendatang, perlu dilakukan tanpa berlandaskan pada kapal karam. Untuk itu, bagi yang ingin Indonesia berdaulat, siapkan amunisi untuk 2019, sementara hasil saat ini, terima saja sebagai bahan pembelajaran bahwa demokrasi prosedural tak akan membebaskan. Apalagi pembawa demokrasi sendiri sudah tra (tak) layak.
Dengan demikian, selamat kepada yang akan berkuasa, Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Khusus kepada para pembuat sejarah, Prabowo Subianto yang berani menolak hasil pemilu karna selama sejarah pilpres langsung di Indonesia, baru di tahun 2014 ini ada, begitu pula SBY masih juara suara terbanyak semenjak pilpres langsung di Indonesia, belum ada yang mengalahkannya.