Mohon tunggu...
Jingga Kelana
Jingga Kelana Mohon Tunggu... Arkeolog -

Lulusan Program Studi Arkeologi, FIB Udayana

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Surel Pelacur Padang Bulan

4 Oktober 2016   08:12 Diperbarui: 4 Oktober 2016   08:24 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dear Sukma,

Entah kenapa kesehatanku akhir-akhir ini menurun. Padahal baru sebulan lalu aku check upsecara keseluruhan dan kata dokter baik-baik saja. Lakiku tidak ada di rumah. Aku bersama anak-anakku. Dia semakin sibuk dengan artefak-artefaknya hingga menengok anak-anakku pun belum sempat.

Tadi editorku bilang, royaltiku sudah dikirim via ATM. Aku bersyukur meski sedikit dapat membantu keuangan keluarga kecil ini. Perempuan itu berjalan menuju wastafel. Membasuh mukanya yang seharian tadi belum tersentuh air sama sekali. Kopi pahit selalu disandingnya, apalagi saat seperti ini. Dia bisa menghabiskan satu sampai tiga gelas dalam dua jam.

Aku sadar, aku dan dia banyak perbedaannya.

Sukma, kau tahu dia Arkeolog sedangkan aku penulis lepas yang baru tiga tahun ini diberi kesempatan untuk mengisi kolom mingguan. Secara kasat mata, orang pasti mengira kami berdua mau makan apa jika mengandalkan profesi kami itu. Tapi lelakiku selalu bilang, sudah biarkan saja. Toh, mereka hanya bisa melihatmu dan melihatku dari luar. Tidak ada yang perlu dipergujingkan. Kuakui dia itu kuat memegang prinsip. Tapi aku tahu, jauh di dalam sana dia terluka.

Kadang dia mengeluh ketika aku paksa untuk check up, memeriksakan tulang kakinya yang kata dokter tidak memiliki sumsum tulang itu. Sukma, lelakiku capek. Beberapa hari ini, saat aku membuka folder yang tersimpan rapi di dalam PC, tanpa sengaja aku menemukan potongan-potongan tulisan. Sepertinya gairahnya sebagai pengarang tumbuh lagi. Ya, Sukma, aku rindu lelakiku.

Dia melepas satu per satu kepenatannya. Sesap demi sesap kopi pahit berduyun-duyun mulai membasahi tenggorokannya yang kering. Dia sulut ujung rokok. Dihisap, dan dikeluarkan lagi. Sesekali terdengar batuk kecil mencekik leher jenjangnya. Wajahnya masih pucat. Dia berusaha tersenyum dan gagal. Mertuaku setia menungguiku dan anak-anakku. Aku bersyukur, Sukma, masih ada yang mempercayaiku sebagai penulis bekas pelacur Padang Bulan.

Apakah kau masih di sana, Sukma?. Sekali waktu datanglah kemari. Meski rumahku minimalis setidaknya masih cukuplah menampung tubuhmu yang selalu dibandrol lima juta per jam itu. Lelakiku tidak terlalu suka dengan rumah yang besar. Dia takut, nanti dikira Kolektor. Ponselnya bordering. Dia Nampak serius bercakap-cakap dengan seseorang yang bersuara di ujung sana. Dia membenahi posisi bantalnya agar punggungnya nyaman, tidak nyeri. Maaf, suratku terputus. Barusan dokter pribadiku telepon, memastikan kondisiku baik-baik saja.

Sukma, aku rindu lelakiku. Sampai sekarang dia belum tahu kalau aku keluar dari Unit Gawat Darurat. Aku yakin, dia akan kaget. Aku memang penulis nakal. Itu juga kan yang kau sampirkan padaku? Kau sungguh kejam, Sukma. Dia mematikan note book kesayangannya. Menaruhnya pelan-pelan di samping kopi pahitnya. Perempuan itu masih tampak lemah. Sebenarnya sesuai saran dokter, dia ke mana-mana harus menggunakan kursi roda. Tapi dia berpikir, lelakiku meski pincang saja masih semangat, tegar, dan tegas. Masak aku tidak bisa? Huh memalukan!.

Maaf aku baru membalas surelmu. Tidak. Aku tidak di Padang Bulan lagi. Tempat itu sudah lama digusur. Syukurlah kalau kau baik-baik saja. Aku kadang iri padamu. Kau bisa terlepas dari Padang Bulan yang dulu setiap malam menerangi kesendirianmu. Perempuan itu tertawa kecil di depan PC butut miliknya.Kau harus bersabar menghadapinya. Jangan gusar, apalagi merasa kesepian. Dia memang orang lapangan dengan mobilisasi tinggi, enggak sepertimu, duduk, nyeruput kopi, membakar mulut, dan akhirnya kau hamil lagi. Aku sudah tidak bisa membayangkan sekarang anakmu ada berapa.

Jiwa lelakimu memang seperti itu, yang penting kau tidak kelaparan sepertiku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun