Mohon tunggu...
Jingga Kelana
Jingga Kelana Mohon Tunggu... Arkeolog -

Lulusan Program Studi Arkeologi, FIB Udayana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Jagad Pewayangan, Mengapa Dilarang di Ibu Kota?

23 Januari 2017   07:30 Diperbarui: 23 Januari 2017   09:13 3066
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wayang Kulit, salah satu budaya warisan Indonesia. National Geographic

Seni pertunjukan wayang kulit di Indonesia umumnya  dalam mengambil lakon selalu merujuk pada epos Rāmāyana, Mahābhārata, beserta lakon-lakon carangan yang dibuat oleh orang Jawa sendiri. 

Sifatnya epos dan sepenuhnya rekaan. Hal ini hanyalah suatu siratan yang menunjukkan bahwa setiap kebudayaan memiliki gaya ekspresi seninya yang khas, namun sekaligus juga, walau sambil membangun tradisi meluangkan diri untuk berkembang dan menampilkan inovasi dari waktu ke waktu.

Adalah tugas setiap pengamat ataupun peneliti untuk mencari fakta dan mengungkapkan dinamika budaya antara membentuk, mempertahankan sekaligus mengembangkan, dan dari sana menampilkan garis-garis merah yang membangun citra budaya suatu bangsa atau suku bangsa. 

Oleh sebab itu, jika sekarang kita memperbincangkan tentang seni pertunjukan wayang kulit maupun wayang orang Jawa, perlulah juga suatu kesadaran akan adanya kesatuan ataupun varian-varian budaya di dalam masyarakat yang bersangkutan.

Contoh kasusnya begini, Durga merupakan salah satu sakti Siwa dalam ekspresi marah atau gusar. Menurut mitosnya, Durga adalah pahlawan perang yang digambarkan melawan musuh para dewa dan senantiasa memperoleh kemenangan. Namun, dalam praktiknya para dalang sering menggambarkannya sebagai sosok seorang ibu yang tentu saja membela kepentingan sang anak meskipun hal itu menentang kehendak para dewa.

Durga digambarkan selalu kalah dalam pakěliran karena orang Jawa umumnya menganggap, baik Bathara Guru maupun Durga bukanlah dewa-dewi tertinggi, di atas mereka masih ada Sěmar. Ia adalah anak Sang Hyang Tunggal atau cucu Sang Hyang Wěnang. 

Sebenarnya apabila dicermati nama-nama tersebut merupakan penjabaran dari sifat-sifat Tuhan itu sendiri. Tuhan bersifat Maha Kuasa (SangHyang Wěnang) sehingga dapat memanifestasikan diri menjadi Bathara Guru (Siwa) yang hidup di Kahyangan maupun Sěmar yaitu dewa berwujud manusia (Wong Bogasampir) dan hidup di dunia guna menjaga kerahayuan semesta. Meskipun begitu, sejatinya Tuhan itu hanya satu dan tiada duanya (Sang Hyang Tunggal).

Menjadi Viral

Suatu saat saya pernah menulis di akun media sosial bahwa sebenarnya antara Rama dan Rahwana itu sama saja, tidak ada yang baik ataupun buruk. Hasilnya bisa ditebak, banyak yang tidak setuju dengan pemikiran itu. Mengapa saya beranggapan begitu? 

Ya, apabila diperas sebenarnya titik sentral dari epos Rāmāyana berada pada diri Sinta. Sementara itu, keberadaan Rama dan Rahwana hanya sekadar pendukung pemeran utama. Sebab, di akhir cerita keduanya tidak memiliki diri Sinta secara utuh.

Mereka berdua memiliki prinsip yang sama yakni berperang demi cinta adalah yang masuk akal dibanding kekuasaan dan kemenangan. Lagian tak ada kehilangan dalam cinta. Sebab, mereka telah lama belajar dari airmata yang rela jatuh untuk seseorang yang dicintai. Hati Rama dan Rahwana saling berkecamuk memperbincangkan, sebenarnya manakah yang lebih hitam: secangkir kopi yang dibiarkan dingin atau hati perempuan yang kesepian?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun