Mohon tunggu...
Jingga Kelana
Jingga Kelana Mohon Tunggu... Arkeolog -

Lulusan Program Studi Arkeologi, FIB Udayana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Agama Membuat Seni Tradisi Menjadi Janggal

11 Oktober 2017   20:07 Diperbarui: 11 Oktober 2017   20:47 883
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penari Gandrung Banyuwangi. Dok. Yuni Artika.

Penari Gandrung Banyuwangi. Dok. Yuni Artika.
Penari Gandrung Banyuwangi. Dok. Yuni Artika.
Tidak sampai di situ, penggiringan seni tradisi ke ranah aturan agama tertentu semakin kentara. Karena pada perhelatan Gandrung Sewu tahun ini yang baru saja berlalu, terdapat suatu hal yang janggal kembali hadir yaitu di bagian openingserta closing dibubuhi Sholawat. Musik ini hadir seakan-akan menjadi alat legitimasi politik-agamis bahwa agama dan budaya menjadi bagian penting dalam pembangunan daerah. Apakah ini juga berarti tanpa agama sebuah kebudayaan dan tradisi akan mati?.

Entahlah, namun perlu dikemukakan dalam tulisan ini sebelumnya memang ada protes dari beberapa pihak. Katanya budaya dan tradisi di Banyuwangi –mulai dari Kebo-keboan hingga Gandrung Sewu– kebanyakan bernuansa Hindu. Sehingga kemudian munculah gagasan agar di bagian openingserta closing Gandrung Sewu dibubuhi Sholawat. Bahkan untuk perhelatan Gandrung Sewu di tahun yang akan datang, semua penari diharuskan mengenakan kebaya.

Hindu Disinggung

Saya tidak habis pikir dengan gagasan tersebut. Apakah belum cukup dengan penggunaan manset yang memberi kesan, penari Gandrung sekarang terlihat kemayu (genit dan manja) karena tersengat matahari sedikit saja tidak mau? Terus, mengapa Hindu disinggung dan dijadikan alasan untuk melegalkan kebijakan tersebut?.

Apakah budaya dan tradisi asli jika tidak dibubuhi ornamentasi islami akan memberikan efek negatif bagi yang menikmati? Begitu burukkah warisan budaya yang dimiliki Nusantara sebelum kedatangan musafir dari Arab dan Persia? Tidak hanya kali ini saja Hindu disinggung dengan seenaknya. Kemarin di media massa santer terdengar pernyataan Egi Sujana yang membuat kami meradang. Selain itu, akhir bulan lalu akan diadakan pergelaran musik cadas dengan memanfaatkan Candi Prambanan. Padahal candi tersebut dari dulu sampai sekarang masih disakralkan oleh masyarakat Hindu di Indonesia.

Fakta-fakta sosial semacam itu memang sempat membuat kami (umat Hindu) gelisah. Namun, meski berulangkali disinggung dan bahkan ditampar sekalipun tidak lantas mendorong kami melakukan aksi anarkis. Bagi kami tidak ada gunanya membalas kekerasan dengan kekerasan. Karena pada dasarnya seluruh dunia ini adalah satu keluarga tunggal (Vasudaiva Kutumbakam).   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun