[caption id="" align="aligncenter" width="550" caption="http://media-2.web.britannica.com/eb-media/31/29931-004-9E07CF36.jpg"][/caption]
“Seni kita sampai kini masih dangkal picik benar. Tak lebih dari angin lalu saja. Menyejukkan kening dan dahi pun tidak.”
Kutipan diatas adalah perkataan sang penyair besar Chairil Anwar yang meluncur darinya sudah beberapa dekade yang lalu, namun agaknya satire pedas Sang binatang jalang ini masih relevan di era kekinian. Keprihatinan Chairil tentang seni Kita yang hanya ibarat angin lalu tanpa daya merasuk ke sanubari bisa dibilang benar. Seni masa kini kehilangan daya magisnya yang dulu mampu menyihir seseorang sampai tergila-gila dan sembah sujud pada pesona keseniannya. Meminjam kata-kata WS Rendra maka seni sekarang adalah “tungku tanpa api”. Tak mampu membakar lagi. Seni Kita memang luar biasa secara kuantitas, dapat dilihat dari banyaknya pagelaran seni yang diadakan di negeri ini entah dalam seni pertunjukkan, musik, rupa, dan cabang seni lainnya. Sedangkan bila secara kualitas apakah semuanya mampu memenuhi hasrat berkesenian para penikmat seni? Lalu apa yang patut ditengarai sebagai penyebab turunnya kualitas kesenian ini? Barangkali turunnya kualitas seni disebabkan karena matinya atau nihilnya kritik membangun yang menyertainya.
Komentator Bola, Analogi Bagi Kritik Seni.
Bayangkan sebuah pertandingan bola yang sengit terjadi di layar televisi yang sedang Anda saksikan. Namun sepanjang jalannya pertandingan tak ada komentator yang mengkomentari jalannya pertandingan, performa para pemain, strategi yang diterapkkan pelatih, atau apapun yang menyangkut jalannya pertandingan. Biarpun pertandingan itu seru namun akan terasa hambar bukan? Andai ada sebuah bagian dari pertandingan yang tidak Kita mengerti tak ada komentator yang akan menjelaskan. Para pemain olahraga ini juga akan kurang greget dalam bermain bola sebab tak ada bisik-bisik tentang Mereka. Bahkan bisa jadi prestasi di lapangan juga menurun karena tak ada kata-kata pedas komentator meluncur untuk melecut Mereka. Bukankah motivator terbaik adalah perkataan orang lain? Kita bisa jadi maju dan berusaha lebih baik setelah mendengar perkataan orang lain yang bernada menyindir Kita. Kemudian buat perumpamaan kritik seni adalah komentator bola. Dalam kancah pertandingan berkesenian para pemainnya adalah para pelaku seni yang bertanding menunjukkan karya-karya terhebat Mereka. Sementara para kritikus seni tidak terikat dalam pertandingan ini, namun Mereka adalah komentator yang krusial. Komentar dan kritik Mereka dibutuhkan para pelaku seni ini sebagai pemicu agar karya Mereka bisa lebih baik kedepannya. Review atau ulasan dari kritikus ini juga dibutuhkan para penikmat seni yang terkadang tersesat dalam kompleksitas estetika sebuah karya seni dan kebingungan bagaimana cara memahaminya. Inilah peran kritikus seni untuk mengulas sebuah karya seni agar mudah dipahami bagi beberapa kalangan yang kesulitan tersebut. Sebenarnya dapat disimpulkan pula kritikus seni adalah bagian dari struktur kesenian yang vital. Presiden sebagai seorang pemimpin negara butuh penasehat sebelum memutuskan sebuah kebijakan. Kepala negara ini juga butuh DPR sebagai kritikus agar pemerintahan tidak jadi otoritarian dan Totalitarian. Maka kritikus seni adalah penasehat sekaligus DPR bagi para pelakon seni, tanpa adanya kritikus seni seorang seniman akan terlalu rakus, menjual seninya demi uang tanpa adanya pertimbangan estetika. Yang jadi masalah lalu ketika kritik seni ini mati dalam hiruk pikuk budaya massa.
Matinya Kritik Seni Oleh Opini Publik Budaya Massa.
Yang dimaksud opini publik dalam hal ini sudah menjadi sebuah public justification alias penghakiman publik. Dalam budaya massa sebuah kritik seni dipasrahkan kepada penghakiman yang dilakukan oleh publik. Misalnya dengan menjamurnya lomba-lomba berkesenian di televisi yang metode penjuriannya dalam memilih pemenang melalui sms dari pemirsa dimana peserta dengan jumlah sms terbanyaklah pemenangnya. Padahal metode ini tentu timpang, sebab penilaian akan didasarkan pada selera, hingga Melly Goeslow yang sempat jadi juri dalam ajang pencarian bakat mengeluarkan statement kekesalan “suatu saat Saya akan nyanyi fals saja toh tetap laku.” Yang menyedihkan lagi adalah kenyataan bahwa model penjurian melalui sms yang dilandaskan selera ini patut dikritik karena toh selera dari para pengirim sms sebagai penilai sudah begitu seragam. Diseragamkan oleh budaya massa sehingga selera tiap orang nyaris serupa. Jadi bisa ditebak pemenang dalam lomba kesenian budaya massa ini adalah Mereka yang tipikal seninya tipikal budaya massa.