Mohon tunggu...
A. Munandar
A. Munandar Mohon Tunggu... Penulis Independen

Sedikit Bicara Banyak Cerita

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tidak menyangkal rasa, tidak pula di perbudak rasa

5 April 2025   21:16 Diperbarui: 6 April 2025   06:20 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photography Coffee Cup on Board (sumber: pexels/Chevanon Photography)

Manusia diciptakan lengkap dengan rasa yang mengiringinya. Berbagai rasa hadir dalam hati. Sama halnya dengan semua penciptaan, rasa juga di hadirkan dalam bentuk pasangan.

Pada dasarnya semua rasa bersifat netral. Segala bentuk rasa menjadi memiliki kadar karena tergantung pada penerimaan si empunya. Seperti halnya hujan dan panas tidak memilih dimana akan turun atau memancar dengan tujuan tertentu, -netral, hujan dan panas menjadi berkah atau bencana tergantung pada penerimaan manusianya.

Suka dan duka bukan dua rasa yang berlawanan, suka dan duka merupakan dua rasa yang sama sebagai pasangan yang saling melengkapi. Seperti hidup dan mati, bukan dua hal berlawanan. kematian melengkapi jalan kehidupan.

Cinta dan benci bukan dua rasa yang bertentangan. Mereka sama- sama hadir sebagai bentuk perhatian. Keduanya merupakan rasa yang mempertegas sisi kemanusiaan.

Takut dan berani juga sering disalahpahami sebagai dua rasa yang saling bertentangan. Padahal, keberanian bukanlah ketiadaan rasa takut, melainkan kemampuan untuk tetap melangkah meski rasa takut itu hadir. Justru karena manusia mampu merasakan takut, ia bisa memahami nilai dari keberanian. Mereka bukan musuh, tetapi pasangan yang saling menguatkan.

Begitu pula dengan puas dan kecewa, bukan dua rasa yang saling meniadakan. Keduanya tidak berada di tempat yang bersebrangan. Keduanya adalah titik diantara harapan dan kenyataan. Keduanya adalah cermin keberhasilan dan kegagalan. 

Iri dan kagum, juga bukan dua rasa yang bertolak belakang, karena keduanya lahir dari perhatian dan ketertarikan kepada sesuatu, perbedaan keduanya terletak pada respon seseorang pada saat memandang sesuatu tersebut. Iri adalah rasa yang muncul saat kita melihat sesuatu yang belum kita miliki, seringkali diiringi keinginan memilikinya juga. Kagum pun lahir dari tempat yang sama—pengakuan atas keindahan atau kelebihan yang dimiliki orang lain. Iri bisa menjadi api yang membakar diri, atau bisa pula ditransformasikan menjadi kagum yang menyemangati.

Setiap rasa punya tempat, punya cerita. Mereka tidak perlu dipilah sebagai ‘baik’ atau ‘buruk’, tidak pula diposisikan sebagai musuh atau kawan. Mereka hadir sebagai penanda bahwa kita masih hidup, masih merasa, dan masih mampu menjadi manusia seutuhnya.

Satu rasa tidak dapat dipisahkan dari rasa yang lain, karena jika  salah satunya diabaikan, maka satu rasa yang lain akan kehilangan maknanya.

Akhirnya, semua pasangan rasa yang hadir harus kita sambut dengan senyuman, karena kita sebagai tuan rumah bagi semua rasa itu. Jangan menyangkal rasa, jangan pula diperbudak oleh rasa.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun