Manusia Itu Unik, Tapi Juga Sama
Setiap manusia lahir dengan luka dan cahaya yang berbeda. Ada yang tumbuh dalam pelukan hangat kasih sayang, ada yang ditempa oleh dinginnya dunia sejak dini. Ada yang hatinya luas seperti samudra, ada yang gelisah bagai sungai yang tak menemukan muara. Kita berbeda dalam cara menatap langit, dalam cara mencintai, dalam cara mengartikan keheningan. Namun, dalam segala perbedaan itu, ada satu kesamaan yang tak terbantahkan: setiap manusia, dengan segala tindakannya, sedang mencari kebahagiaan bagi dirinya sendiri.
Sebagian orang akan membantah ini. Mereka berkata"Saya menolong bukan untuk kesenangan pribadi, tapi karena ikhlas dan memang harus aku lakukan" Tapi benarkah? Apakah tak ada sedikit pun rasa lega setelah mengulurkan tangan? Apakah tak ada kepuasan batin saat merasa telah menjadi orang baik?Â
Begitu pula mereka yang berjalan dalam kegelapan---setiap keputusan, bahkan yang paling keliru, tetaplah diambil dengan keyakinan bahwa itu adalah jalan kesenangan bagi dirinya saat itu.
Namun, betapa mudahnya dunia menempelkan label. Manusia-manusia yang berjalan di sekitarnya bukan lagi individu dengan kisah dan pergumulannya masing-masing, tetapi sekadar wajah-wajah yang kita putuskan untuk terima atau tolak.Â
Yang diam disebut angkuh, yang bicara disebut haus perhatian, yang menabung disebut kikir, yang memberi disebut pencitraan.Â
Dunia ini tak pernah kehabisan cara untuk menuntut kita menjadi sesuatu yang lain, menjadi sesuatu yang lebih pas di mata mereka.
Dan yang lebih menyedihkan? Standar itu berubah-ubah. Hari ini kita dipuji karena ketulusan, esok kita dicurigai punya maksud tersembunyi. Hari ini kita disayangi karena pendiam, esok kita ditinggalkan karena kurang menyenangkan. Kita bukan manusia lagi, hanya sekadar refleksi dari ekspektasi yang tak pernah bisa kita penuhi.
Menghakimi adalah pekerjaan yang mudah. Memahami, itu yang sulit. Dibutuhkan kesabaran untuk menyelami, untuk melihat manusia bukan sebagai hitam dan putih, tapi sebagai mozaik dari luka, harapan, ketakutan, dan impian.Â
Jika kita bisa sedikit saja menahan keinginan untuk menghakimi, jika kita bisa sedikit saja mengingat bahwa setiap orang bertarung dengan dunia dalam cara yang hanya mereka yang tahu, bukankah dunia ini akan terasa lebih lapang?