Mohon tunggu...
Aris Heru Utomo
Aris Heru Utomo Mohon Tunggu... Diplomat - Penulis, Pemerhati Hubungan Internasional, kuliner, travel dan film serta olahraga

Penulis beberapa buku antara lain Bola Bundar Bulat Bisnis dan Politik dari Piala Dunia di Qatar, Cerita Pancasila dari Pinggiran Istana, Antologi Kutunggu Jandamu. Menulis lewat blog sejak 2006 dan akan terus menulis untuk mencoba mengikat makna, melawan lupa, dan berbagi inspirasi lewat tulisan. Pendiri dan Ketua Komunitas Blogger Bekasi serta deklarator dan pendiri Komunitas Blogger ASEAN. Blog personal: http://arisheruutomo.com. Twitter: @arisheruutomo

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Menelusuri Jejak Tintin di Museum Herge

10 April 2011   23:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:56 1043
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_101315" align="aligncenter" width="640" caption="Foto"][/caption]

Waktu menunjukkan pukul 7 pagi ketika saya bergegas meninggalkan penginapan di hotel Corel Scheveningen, menuju Stasiun Kereta Holland Spoor, Den Haag, menggunakan tram bernomor 9. Dinginnya pagi masih terasa menusuk meski saya telah mengenakan sweater dan jaket kulit yang cukup tebal.

Tidak sampai 20 menit, saya pun telah tiba di Stasiun Kereta Holland Spoor. Segera saya menuju loket penjualan tiket internasional untuk mendapatkan tiket perjalanan yang paling pagi ke Brussels, Belgia. Setelah mengantri sejenak, saya pun tiba di depan loket. Seorang wanita setengah tua penjaga loket segera menyapa saya dalam bahasa Belanda. Setelah membalas sapaan dalam bahasa Belanda ala kadarnya, saya pun mengemukakan keinginan saya untuk mendapatkan tiket ke Brussel dengan harga tiket yang paling murah.

Setelah mengecek jadwal perjalanan dan ketersediaan tiket, saya akhirnya mendapat tiket kelas 2 seharga 40 Euro PP ditambah booking fee sebesar 3,5 Euro (karena saya tidak memiliki kartu berlangganan). Harga tiket ini sudah termasuk murah karena harga normalnya adalah 62 Euro, diluar booking fee. Si penjaga loket pun kemudian menjelaskan bahwa saya bisa segera naik kereta Intercity pukul 08.30 dan tiba di Brussels sekitar 2 jam kemudian.

Sambil menanti kedatangan kereta, saya sarapan sejenak di kantin stasiun. Sambil sarapan, menggunakan handphone, saya pun mengecek kembali alamat tempat yang akan saya kunjungi di Belgia yaitu Museum Herge di Louvain La Neuve, sekitar 30 km dari Brussels. Celakanya, handphone saya ternyata tidak cukup cerdas untuk membaca informasi dari Museum Harge yang menggunakan aplikasi Flash Movie. Akhirnya lewat Blackberry Messenger saya mendapatkan informasi dari teman di Jakarta mengenai alamat Museum Herge.

Baru saja saya selesai sarapan, kereta Intercity pun tiba dan saya segera masuk ke gerbong kereta yang terlihat masih belum banyak diisi penumpang. Hanya terlihat beberapa orang penumpang di kursi depan yang sedang sibuk dengan laptopnya dan membaca koran. Dari penampilannya, sepertinya mereka adalah orang-orang Belanda yang bekerja di Uni Eropa yang bermarkas di Brussels.

Setelah sejenak berhenti di beberapa stasiun kereta seperti di Delft dan Rotterdam, kereta Intercity yang saya tumpangi pun segera meluncur ke Brussels dengan hanya sekali berhenti di Antwerpen, Belgia. Tidak sampai 2 jam, kereta pun akhirnya sampai di stasiun Brussels Central. Saya pun segera berganti kereta dalam kota jurusan Brussels-Louvain La Neuve, setelah terlebih dahulu membeli tiket seharga 9,5 Euro PP.

Malu bertanya sesat di jalan, begitu saran bijak yang sering saya dengar, tapi kalau sudah bertanya masih juga salah jalan, itu namanya nasib. Itu yang terjadi. Meski saya sudah melihat papan pengumuman yang memuat informasi mengenai jalur kereta dan bertanya kepada seorang calon penumpang, tetap saja kejadian salah jurusan terjadi. Mestinya saya naik kereta jurusan Louvain La Neuve tapi ternyata kereta yang saya naiki adalah ke jurusan Louvain (tanpa La Neuve) dengan transit di Stasiun Zaventem (stasiun kereta yang tepat berada di Bandara Internasional Brussels).

Sebagai informasi, meski hanya berbeda kata “La Neuve”, kota Louvain dan Louvain La Neuve merupakan dua kota yang sama sekali berbeda dan satu sama lain berjarak sekitar 50 km. Kota Louvain adalah kota dengan penduduk berbahasa Belanda dan karenanya semua petunjuk dan rambu lalu lintas menggunakan bahasa Belanda. Sementara Lovain La Neuve adalah kota di wilayah Wallon yang penduduknya berbahasa Perancis dan tentu saja semua petunjuk yang digunakan dalam bahasa Perancis.

Akibat salah jurusan, saya pun terpaksa ganti kereta sebanyak dua kali. Setelah tiba di Stasiun Louvain, disambung dengan kereta menuju Stasiun Ottignies. Dari sini berganti lagi dengan kereta menuju Louvain La Neuve. Akibatnya waktu tempuh Brussels-Louvain La Neuve yang semestinya bisa ditempuh sekitar 25 menit menjadi molor sekitar 1 jam 30 menit.

13024784841105372815
13024784841105372815
Sekitar pukul 1 siang saya pun tiba di Stasiun Louvain La Neuve, tepatnya Stasiun Louven La Neuve University. Kenapa ada kata university? Ya karena stasiun ini memang berakhir di halaman kampus Universitas Louven La Neuve. Sebuah kampus yang rindang, dengan pepohonan memenuhi halaman di sekeliling kampus.

Setelah memastikan jadwal kepulangan di stasiun kereta (agar tidak terlambat dan nyasar lagi), saya pun segera menuju Museum Herge yang ternyata berada di kawasan kampus Louvain La Neuve University.

Bagi penggemar komik Tintin, pastinya sudah tidak asing lagi dengan nama Herge (dibaca R G). RG adalah kebalikan dari GR, singkatan nama Georges Remi (1907-1983) pembuat tokoh komik Tintin yang terkenal di seluruh dunia hingga hari ini karena kisah-kisah petualangan Tintin ke berbagai penjuru dunia.Untuk mengenang Remi dan mengumpulkan semua karya-karyanya, maka didirikan Museum Herge di kampus Universitas Louvain La Neuve, yang persemiannya dilakukan pada musim panas 2009.

13024786331650675595
13024786331650675595
Gedung museum dirancang oleh arsitek Christian De Portzamparc yang merancang bangunan museum seperti kapal di laut dimana kerindangan pepohonan di kawasan tersebut diimajinasikan sebagai air laut.

Gedung museum memiliki tiga lantai, dimana padasetiap lantainya dipamerkan berbagai karya Herge sejak awal hingga akhir masa hayatnya. Diperkirakan sekitar 80% dari karya Herge terdapat di museum ini.

Untuk memasuki ruang pamer, para pengunjung dipungut biaya masuk sebesar 9,5 Euro dan pengunjung akan dipinjamkan elektronic guide yang akan menjelaskan berbagai hal yang terdapat di ruang pamer.

Usai membayar tiket masuk dan mendapat electronic guide, saya diarahkan ke lantai 3 untuk memulai tour di museum. Di lantai 3 ini terdapat empat ruangan yang masing-masing memiliki tema berlainan.

Di ruang pertama, dipamerkan benda-benda yang terkait dengan aktifitas Herge di dunia kepramukaan seperti foto-foto dan benda-benda yang digunakan Herge selama aktif di kepramukaan. Selain itu di dinding dipajang seangkaian gambar komik yang digunakan untuk menjelaskan teknik-teknik yang digunakan Herge untuk menghidupkan komiknya seperti penggunaan gelembung-gelembung untuk menempatkan kata-kata, penggunaan “beberapa tanda seru” untuk ekspresi marah atau terkejut, sera penggunaan kata-kata “bug, ziiip, zing, swiiing” dan sebagainya untuk menggambarkan sebuah pukulan.

Di ruang kedua, dipajang poster-poster karya Herge serta beberapa karya komik lainnya, sebelum Tintin. Selanjunya di ruang ketiga dipamerkan lembaran komik dimana terdapat tokoh-tokoh yang sering muncul di petualangan Tintin, seperti Milou/Kuifje/Snowy ataupun Dupont dan Dupond/Jansen dan Janssen/Thompson dan Thomson (semuanya disebutkan dalam tiga bahasa yaitu Perancis, Belanda dan Inggris). Selain itu, di ruangan ketiga ini, dipamerkan pula beberapa lembaran Koran Belgia, Le Soir, terbitan tahun 1930-an dimana pada lembaran tersebut terdapat komik strip Tintin.

Sementara di ruang keempat, ditampilkan beberapa rekaman film kontemporer yang menginspirasi Herge dalam pembuatan suatu tokoh yang muncul di komik Tintin. Salah satu film yang dipajang adalah film hitam putih berjudul “King Kong” buatan tahun 1933. Lewat film King Kong, Herge kemudian membuat tokoh gorilla dalam komik petualangan Tintin yang berjudul “The Black Island“ (diterbitkan tahun 1937).

Usai menuntaskan perjalanan di semua ruang lantai tiga, saya kemudian menuruni tangga menuju lantai dua. Saat menuruni tangga, kita akan melihat lampu gantung cukup besar dimana ditampilkan gambar hitam putih tokoh-tokoh yang ada dalam komik Tintin

Seperti halnya di lantai tiga, di lantai dua ini pun terdapat 4 buah ruangan yang digunakan untuk memamerkan benda-benda lainnya yang mendukung Herge saat menggambarkan petualangan Tintin. Di ruang pertama terdapat sebuah lemari kaca yang berisikan buku lama tentang China dimana buku ini merupakan sumber informasi Herge saat membuat komik Tintin berjudul “the Blue Lotus” (1934-1935). Sementara di lemari kaca lainnya terdapat Patung Kuping Belah yang muncul dalam “The Broken Ear” (1935-1937).

Masih di ruangan ini terdapat pemandangan 3 dimensi di dalam piramida seperti yang terdapat dalam “Cigars of the Pharaoh” (1932-1934). Selanjutnya, di ruangan yang berbeda terdapat replika roket yang digunakan Tintin saat pergi ke bulan dalam “Destination Moon dan Explorers on the Moon” (1950-1953) dan kapal selam yang digunakan Tintin dalam “Red Rackham’s Treasure” (1943).

Sementara di ruangan lainnya, terdapat karya-karya Herge dalam bentuk draft alias masih coret-coretan sebelum akhirnya disempurnakan menjadi lembaran yang siap cetak. Nah di lantai ini saya melihat sebuah display yang berisikan 2 lembar coret-coretan Herge ketika membuat “Flight 714 to Sidney” (1966-1967). Sayang yang ditampilkan bukan bagian ketika Tintin mendarat di Bandara Kemayoran.

Dari lantai 2, akhirnya sampailah ke lantai 1 yang juga memiliki beberapa ruangan. Pada ruangan pertama berisikan informasi mengenai upaya Herge membangun Studio Herge. Di ruang ini dipamerkan foto-foto para komikus dan para pegawai di Studio Herge yang menjadikan komik Tintin sebagai sebuah industri kreatif yang terkenal di berbagai belahan dunia.

13024787802043798285
13024787802043798285
Akhirnya, menjelang pintu keluar terdapat sebuah ruang display berbentuk tabung dimana di dalamnya ditampilkan komik Tintin dalam bentuk hard cover dari berbagai negara dan bahasa seperti Perancis, Inggris, Belanda, China, Jepang, Rusia, Arab dan sebagainya. Sayang saya tidak menemukan komik Tintin dalam bahasa Indonesia. Bisa jadi komik Tintin dalam bahasa Indonesia tidak ditampilkan karena komik Tintin yang diterbitkan di Indonesia bentuknya tidak standar. Dulu ketika diterbitkan pertama kali oleh Indira, bentuknya masih tipis (soft cover) dan kini ketika diterbitkan oleh Gramedia malah berbentuk seperti buku kecil.

Sebelum mengakhiri kunjungan di lantai terakhir ini, pengunjung diminta menjawab 8 pertanyaan sederhana guna menguji seberapa kemampuan para Tintiners mengenal komik Tintin dan Herge. Pertanyaan-pertanyaan tersebut antara lain, apa sebutan untuk Herge ketika aktif di kepramukaan, gambar Patung Kuping Belah ada di komik Tintin seri yang mana, siapa nama depan Kapten Haddock, kapan komik Tintin berubah dari hitam putih menjadi berwarna dan sebagainya.

1302478895500162826
1302478895500162826
Secara keseluruhan, perjalanan ke Museum Herge sangat menyenangkan. Selain bisa mengenal Tintin lebih jauh, kita pun seolah dibawa ke dunia komik yang sesungguhnya. Bagaimana tidak, begitu memasuki Museum Herge, kita sudah disajikan pemandangan arstitektur gedung yang komikal dan dinding dicat warna-warna dengan coretan khas Herge. Display untuk memajang lembaran-lembaran komik pun disajikan secara komikal dengan penjelasan yang terpadu lewat electronic guide. Selain itu pula, dalam beberapa kesempatan, pengunjung diajak berinteraksi dengan diminta menjawab beberapa pertanyaan terkait Tintin dan Herge.

Namun seperti kata pepatah, tak ada gading yang tak retak, Museum Herge ini pun memiliki kekurangan yaitu tidak diperbolehkannya pengunjung untuk mengambil gambar di dalam museum. Akibatnya kita tidak bisa mendokumentasikan benda-benda yang ada di dalam museum. Bagi yang agak narsis, larang berfoto juga merugikan karena tidak bisa mejeng di depan benda-benda koleksi museum. Selain itu, foto-foto tersebut bisa dijadikan barang bukti bahwa kita pernah berkunjung ke sana.

Tapi lagi-lagi seperti kata pepatah, tak ada akar rotan pun jadi, tak bisa berfoto di dalam museum, berfoto di luar museum. Hasilnya bisa dilihat sendiri pada postingan ini.

13024790212126810000
13024790212126810000
13024791641117247963
13024791641117247963

Salam Tintin dan salam sejuta topan badai

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun