Tanggal 28 Juni 2025, Kompas genap berusia 60 tahun. Edisi cetak tanggal tersebut menampilkan kembali halaman koran 60 tahun silam---sebuah sajian nostalgik yang langsung membuat ingatan penulis melayang ke masa lalu.Â
Penulis tahu tentang edisi istimewa ini dari unggahan teman-teman di media sosial. Andai penulis sedang berada di tanah air, pasti penulis akan berusaha mendapatkan versi cetaknya.
Sejak beberapa tahun terkahir, penulis tidak membeli dari agen koran resmi. Penulis sengaja menunggu seorang bapak tua penjual koran keliling yang sabar bersepeda di komplek perumahan. Ada kebahagiaan tersendiri membeli langsung darinya---sekadar cara kecil agar ia mendapatkan sedikit keuntungan dari hasil jerih payahnya.Â
Tapi tahun ini penulis sedang bertugas di Tawau, Sabah, Malaysia, sehingga hanya bisa menikmati euforianya dari kejauhan.
Bagi penulis, Kompas bukan sekadar koran. Ia adalah oase ilmu pengetahuan. Penulis sudah mulai membaca Kompas sejak akhir masa SD atau awal SMP, bersamaan dengan Pos Kota. Setiap sore penulis menunggu Kompas yang dibawa ayah sepulang dari tempat kerja.
Dari Kompas penulis banyak mendapatkan informasi yang terjadi di berbagai belahan dunia, lokal dan global, dan pengetahuan baik dari tulisan para pakar di kolom opini hingga perkembangan dunia pengetahuan.Â
Selain itu penulis juga tidak sabar menanti cerita bersambung yang menarik seperti Senopati Pamungkas atau Bajang Kirek karya alm. Arswendo Atmowiloto yang kemudian dibukukan sebagai novel. Â
Yang tidak dilupakan juga adalah pengalaman membuat klipping Piala Dunia 1978 di Argentina. Penulis menggunting hampir semua berita pertandingan dan pemain dari halaman Kompas, lalu menempelkannya di buku tulis bekas.Â
Dari kliping itu, penulis mengenal nama-nama seperti Mario Kempes, Ardiles, Daniel Passarella, hingga Johann Neeskens, si kembar Van Der Kerkhof dan Ruud Krol dari Belanda yang menjadi lawan Argentina di final.