Ini tulisan ringan yang idenya datang dari perbincangan dengan seorang teman dalam perjalanan dari Nunukan ke Tawau menggunakan boat.
Teman saya tersebut bercerita dengan penuh semangat, "Kata psikolog, saya punya kemampuan visualisasi yang kuat. Saya bisa menggambarkan sesuatu dengan sangat detail."
Saya pun menimpali, "Luar biasa. Dengan bakat seperti itu, sudah berapa buku atau tulisan yang kamu buat dari kemampuan itu?"
Dia tertawa, "Belum ada. Saya lebih senang bercerita lisan, bukan menulis. Saya tidak merasa punya bakat menulis."
"Bagaimana dengan menulis laporan, bukan menulis buku atau tulisan seperti cerita pendek atau essay?", tanya saya.
"Kalau laporan dinas, karena kewajiban selalu saya lakukan. Tapi saya kerap sebal karena sering dicoret-coret pimpinan," jawab sang teman.
Saya hanya tersenyum mendengan curcol teman dan pada saat bersamaan muncul pertanyaan klasik yang kerap muncul dalam dunia literasi: Apakah menulis itu bakat bawaan, atau sebuah keterampilan yang bisa dilatih dan dikuasai siapa saja?
Sebagian orang memang sejak dini menunjukkan kecenderungan menulis. Mereka dengan mudah merangkai kata, membuat catatan harian, atau bahkan menulis puisi sejak usia belia. Kemampuan ini seringkali disebut sebagai bakat - semacam predisposisi genetik atau anugerah alami yang membuat seseorang terasa "lebih mudah" dalam menulis dibandingkan yang lain.
Namun, bakat tanpa asah seringkali tidak lebih dari potensi yang mengendap. Penulis besar sekalipun tidak menjadi hebat hanya karena bakat, tetapi karena konsistensi dan kedisiplinan dalam membaca, menulis, dan memperbaiki diri. Seperti yang pernah dikatakan oleh sastrawan Putu Wijaya, "Menulis itu seperti bernafas, tapi nafas pun harus dilatih agar tidak tersengal."
Jadi agar kemampuan menulis berjalan dengan baik, makan jalan yang bisa ditempuh demua orang adalah berlatih dan berlatih.