Senin siang, 26 Mei 2025. Langit Kunak terlihat biru dengan udara yang sedikit terik ketika penulis meninggalkan ruang kelas Community Learning Center (CLC) Ladang Mostyn. Anak-anak masih di kelas setelah sesi pembelajaran mengenai Pancasila dan cinta tanah air Indonesia.
Dalam perjalanan menuju kendaraan, salah seorang staf mendekat dan berbisik, "Pak, di dekat sini ada pohon sawit tertua di Borneo. Kalau Bapak berkenan, pengurus ladang bisa antar ke sana."
Penulis langsung tertarik dengan informasi yang penulis rasakan seperti undangan tak terduga untuk menyentuh langsung satu potong sejarah penting yang jarang disinggung.
"Tentu mau dong," jawab penulis spontan. "Kapan lagi bisa melihat pohon sawit tertua di Borneo?"
Sebagai informasi, CLC atau Community Learning Center adalah pusat pendidikan informal yang diperuntukkan bagi anak-anak pekerja migran Indonesia (PMI) yang tinggal dan bekerja di perkebunan sawit Malaysia, khususnya di wilayah Sabah.
Mereka tinggal jauh dari kota, sering kali dalam kondisi yang terbatas. Namun semangat belajar mereka tak kalah dengan anak-anak di tanah air.
Dari tempat seperti inilah penulis makin menyadari bahwa kegiatan perwakilan RI di luar negeri, seperti Konsulat RI di Tawau, tidak melulu berbentuk lobi di meja perundingan di ruangan berpendingin.
Kegiatan bisa dilakukan di ruang kelas ditemani papan tulis, spidol, dan senyuman anak-anak yang menulis huruf demi huruf dengan penuh harapan.
Kembali ke pohon sawit, perjalanan menuju lokasi pohon sawit tertua di Borneo memakan waktu sekitar 20 menit dari CLC. Mobil yang kami tumpangi menyusuri jalan tanah yang sepi. Pohon-pohon sawit yang kami lewati berdiri tegak, barisannya rapi seperti prajurit yang sedang menanti komando matahari.
Tujuan kami adalah OP57M---singkatan dari Oil Palm 1957 Museum. Letaknya tidak jauh dari pusat kota Kunak, sebuah kota kecil di pantai timur Sabah.Â