Pada setiap bulan Ramadhan, Masyarakat Indonesia kerap melaksanakan tradisi ngabuburit, suatu kegiatan yang dilakukan pada sore hari dalam rangka menyambut waktu berbuka puasa yakni waktu menjelang azan Magrib.
Istilah ngabuburit sendiri berasal dari bahasa Sunda. Menurut Kamus Bahasa Sunda yang diterbitkan Lembaga Bahasa dan Sastra Sunda (LBSS), kata 'ngabuburit' berasal dari kalimat 'ngalantung ngadagoan burit' yang artinya 'bersantai sambil menunggu waktu sore. Ngabuburit sendiri berasal dari burit, yaitu waktu sore, senja, menjelang adzan Magrib, atau menjelang matahari terbenam.
Dalam perkembangannya, istilah ngabuburit kemudian digunakan masyarakat sebagai aktivitas untuk menunggu saat buka puasa di bulan Ramadhan. Ragam aktivitas yang dilakukan, bisa berupa bermain permainan tradisional dan berjalan-jalan. Selain itu, kegiatan ngabuburit juga dapat berupa kegiatan yang lebih berfaedah seperti kegiatan keagamaan dengan mendengarkan ceramah ataupun mengaji
Konon tradisi ngabuburit sendiri mulai diperkenal secara nasional oleh ulama Buya Hamka ketika menjadi ketua umum pertama Majelis Ulama Indonesia pada 1975. Kala itu, Buya Hamka mendapat arahan dari Presiden Soeharto untuk mengisi momentum ngabuburit dengan kegiatan berfaedah lewat keagamaan. Melalui ngabuburit, generasi muda diharapkan dapat memperoleh faedag melalui diskusi untuk menambah pengetahuan dan menjalin silaturahmi.
Untuk mendapatkan faedah ngabuburit, baru-baru ini, tepatnya pada Kamis Maret 2025 lalu, penulis melaksanakan acara berbuka puasa bersama dengan guru dan sekitar 90 siswa Community Learning Center (CLC) Al Alaq tingkat SMP di Tawau.
CLC sendiri merupakan suatu tempat kegiatan belajar (semacam sekolah) yang menjadi tempat belajar bagi anak-anak Indonesia yang orang tuanya menjadi pekerja migran Indonesia (PMI) di Sabah, Malaysia, dari kelas 1 s.d 9.
Di Sabah, terdapat dua jenis CLC yaitu CLC Ladang dan CLC non Ladang.
CLC Ladang adalah CLC yang didirikan oleh Perusahaan-perusahaan perkebunan sawit di Sabah, Malaysia, yang dimaksudkan untuk memberikan akses pendidikan kepada anak-anak PMI yang bekerja di perkebunannya. Sarana dan prasarana pendidikan seperti bangunan dan ruangan kelas, meja belajar, internet dan sebagainya, Â disiapkan oleh perusahaan perkebunan, sedangkan kurikulum pembelajaran, guru, dan bahan pembelajaran disiapkan oleh guru yang disebut Guru Bina yang dikirim oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia (Kemendikdasmen RI).
Sedangkan CLC non ladang adalah CLC yang didirikan secara mandiri oleh perorangan yang dimaksudkan untuk memberikan akses pendidikan kepada anak-anak PMI yang tidak bekerja di perkebunan sawit, tapi bekerja pada sektor informal lainnya, seperti pekerja pabrik, pembantu rumah tangga, pegawai toko dan sebagainya. Pengadaan sarana dan prasarana pendidikan seperti ruang kelas diadakan secara mandiri oleh pengurus sekolah misalnya menyewa dan orang tua pelajar dikenakan biaya sekolah bulanan. Sama seperti CLC ladang, maka kurikulum pembelajaran, guru bina dan bahan pembelajaran dibantu Kemendikdasmen. Â Â
Kurikulum pembelajaran pada CLC adalah kurikulum Indonesia dan mendapat dukungan dari Pemerintah Indonesia melalui Kemendikdasmen. Dukungan yang diberikan Kemendikdasmen antara lain pemberian bantuan sebagian dana operasional sekolah dan pengiriman guru yang mendapat gaji dari Pemerintah Indonesia. Karena keterbatasan jumlah guru bina yang ditugaskan ke Sabah ini mengajar pada satu atau dua CLC dan mengajar untuk semua kelas di setiap CLC.