Mohon tunggu...
Aris Dwi Nugroho
Aris Dwi Nugroho Mohon Tunggu... Dosen - Seseorang yang selalu ingin menjadi pembelajar sejati untuk menggapai kebahagiaan hakiki.

Email: anugrah1983@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Surat Cinta Penggugah Hati Orang Tua dan Pendidik

19 Juni 2017   10:14 Diperbarui: 19 Juni 2017   10:30 454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Surat Cinta Pak Suwarsana. Sumber: wahok.com

Beberapa hari yang lalu, jagat media sosial dihebohkan dengan viralnya sebuah surat dari seorang Kepala Sekolah SD Mutiara Persada Bantul Yogyakarta yang bernama Suwarsana, M.Pd. Surat yang bertajuk "surat pribadi" tertanggal 9 Juni 2017 ini disampaikan kepada orang tua siswa yang baru saja selesai mengikuti ujian akhir.

Terlepas dari informasi yang menyatakan surat tersebut ternyata merupakan hasil saduran, saya tetap memberikan apresiasi yang besar kepada yang terhormat Bapak Suwarsana, M.Pd atas niat dan usahanya membuat sebuah surat cinta dan menyampaikannya kepada para orang tua siswa. Pembuatan surat cinta semacam ini begitu jarang dilakukan oleh para Kepala Sekolah di negeri ini. Surat dari seorang kepala sekolah yang disampaikan kepada orang tua siswa biasanya hanya sebatas yang terkait dengan pemberitahuan kegiatan sekolah, undangan pertemuan, dan pemberitahuan kebijakan sekolah.

Surat yang mengundang keterharuan banyak orang tua siswa dan Netizen ini, kiranya dapat menjadi penggugah hati para orang tua dan pendidik dalam mendidik anak-anak/para siswa mereka. Betapa banyak orang tua/pendidik mengetahui dan memahami ilmu pendidikan dan psikologi (baik psikologi pendidikan, psikologi perkembangan, ataupun yang lainnya), namun tidak sedikit dari mereka dalam mendidik tidak mencerminkan pengetahuan dan pemahaman yang dimilikinya. 

Karena untuk mendidik anak tidak cukup hanya dengan pengetahuan tentang ilmu pendidikan, psikologi dan pengetahuan lainnya, namun peran hati sangat diperlukan. Rasa cinta, kasih dan sayang, kesabaran, serta keikhlasan yang disertai dengan tingkat spiritual yang tinggi merupakan aspek yang tidak boleh luput dari hati orang tua/pendidik dalam mendidik anak. Tidak sedikit orang tua/pendidik yang minim akan pengetahuan tentang pendidikan, dan psikologi, namun dengan melibatkan hati dalam proses mendidiknya, sangat berdampak positif terhadap keberhasilan anak/siswa mereka.  

Mencermati surat cinta Pak Suwarsana, sudah seharusnya orang tua/pendidik melakukan instropeksi diri dalam hal yang terkait dengan proses pendidikan anak-anak yang mereka lakukan. Masih ada di antara kita sebagai orang tua dan/atau pendidik yang memandang anak itu sebagai individu yang super. Mereka harus mampu menguasai seluruh mata pelajaran yang diberikan di sekolah dengan nilai yang tinggi. Ketika mereka mendapatkan nilai yang kurang baik dalam satu atau beberapa mata pelajaran ataupun tidak lulus dalam sebuah ujian, sepertinya itu menjadi aib bagi kita. Seakan label "anak bodoh" melekat pada diri mereka. Sehingga berbagai usaha kita lakukan hanya sekedar untuk menaikan nilai yang rendah. Paksaan untuk belajar lebih giat, permintaan untuk mengikuti bimbingan belajar, bahkan tak jarang cacian dan makian harus mereka terima dari orang tua dan/atau pendidik mereka.

Belum lagi apabila kita melihat anak-anak lain yang memiliki kelebihan dari anak-anak kita, baik dalam aspek akademik ataupun non akademik, terkadang kita tak sadar telah melakukan pembandingan di antara mereka, dan terkadang akan melahirkan ambisi agar anak kita harus bisa sama bahkan lebih dari kemampuan anak-anak lain. Sehingga tak jarang anak sering menjadi korban dari ambisi orang tua dan/atau pendidik mereka.

Coba kita bayangkan bersama, menjalani pendidikan di sekolah saja secara normal sudah begitu berat dengan beban mata pelajaran yang cukup banyak, apalagi harus ditambah dengan beban psikologis yang tercipta akibat ambisi kita yang mengharuskan anak-anak mendapatkan nilai yang baik dalam seluruh mata pelajaran, bisa segalanya, dan memiliki kemampuan yang sama atau lebih dari anak-anak lainnya. Bagaimana jadinya anak-anak kita di masa depan, menjalani kehidupan dengan beban yang sangat berat seperti itu?

Kita harus menyadari bahwa anak merupakan individu unik dan spesial yang terlahir dengan potensi yang berbeda satu dengan lainnya. Jangankan yang terlahir dari rahim yang berbeda, yang terlahir dari satu rahim pun, bahkan terlahir dalam kondisi kembar, pasti memiliki keunikan masing-masing, termasuk dalam potensi akademik dan non akademik. Belum lagi masih harus dipengaruhi oleh faktor lingkungan, minat, motivasi dan lain sebagainya, yang akan menjadikan anak semakin menjadi individu yang unik.

Dengan demikian, sudah seharusnya kita dapat menyikapi anak-anak dengan bijak. Tidak seharusnya kita membebani mereka dengan ambisi-ambisi untuk mendapatkan nilai yang tinggi pada seluruh mata pelajaran, dan untuk dapat memiliki kemampuan yang sama bahkan lebih dari anak-anak lainnya. Betapa ironis apabila kita membandingkan anak kita dengan anak-anak lainnya. Ingatlah, anak kita itu adalah bukan anak-anak lainnya. Anak kita adalah individu unik, yang harus kita sikapi, bantu, dampingi mereka dengan melibatkan hati sesuai keunikan yang dimilikinya, dan disertai dengan tingkat spiritualitas yang tinggi. 

Hargai sekecil apapun proses usaha mereka. Sikapi kekurangan dan kelebihan mereka dengan bijak. Begitu banyak terjadi orang tua dan/atau pendidik hanya memfokuskan diri untuk meningkatkan kekurangan yang ada pada anak/siswa mereka, dan mengabaikan kelebihan atau potensi yang ada pada diri anak/siswa. Sehingga anak yang seharusnya dapat mengembangkan dan mengoptimalkan potensinya, malah disibukkan dan dibebani dengan usaha peningkatan kekurangan yang sebenarnya tidak sesuai dengan potensi, bakat, dan minat mereka.

Selain itu, tak ada salahnya apabila orang tua memiliki harapan terhadap anaknya kelak memiliki profesi tertentu di masa depannya. Namun, salah apabila menjadikan profesi tertentu sebagai sebuah standar kesuksesan dan kebahagiaan. Dokter, insinyur, Pegawai Negeri Sipil (PNS), dan profesi bergengsi lainnya, bukanlah indikator kesuksesan dan kebahagiaan seseorang. Bukan berarti anak-anak kita termasuk golongan orang-orang yang gagal dan tidak bahagia, apabila memiliki profesi yang tidak masuk dalam daftar profesi bergengsi tersebut. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun