Mohon tunggu...
Muhammad Aris
Muhammad Aris Mohon Tunggu... Lainnya - Analisis

Analisis beberapa pendapat alim ulama

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Covid-19 Sebab Terpecahnya Pemikiran Para Alim Ulama

2 April 2020   17:43 Diperbarui: 3 April 2020   10:19 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Yang setuju sudah pasti berkiblat kepada pemahaman para ulama MUI dalam mengambil keputusan. Dan yang tidak setuju melihat dari pendapat ulama yang lain, ulama yang lainpun berbagai pendapat dalam menanggapi fatwa MUI tersebut, sehingga para mad'unya para jama'ahnya pun berkiblat kepada ulama yang mereka percayai ataupun diyakini keilmuannya. 

Penulis pun bertanya, apakah para ulama MUI itu tidak memiliki ilmu dalam mengambil keputusan? Tentu saja mereka memiliki ilmu dalam mengambil keputusan, mereka itu adalah orang-orang yang memiliki tingkat keilmuan yang tinggi sehingga bisa berfatwa seperti itu. Tidak mungkin para ulama MUI sembarang dalam mengambil keputusan. Dan penulispun bertanya, apa susahnya untuk mentaati apa yang sudah mereka fatwa kan. 

Dalam al-Qur'an surah al-Baqarah ayat 195 yang artinya "Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan". Pada ayat tersebut, Allah SWT melarang kepada kita dari menjatuhkan diri ke dalam kebinasaan. Sedangkan, mengadakan ataupun menghadiri shalt Jum'at di saat Covid-19 ini mewabah maka berpotensi terjadinya penularan yang sangat cepat, dan mengakibatkan banyak jiwa menjdi binasa, maka dari itu do hindari. 

Para ulama MUI pun berpedoman dalam hadits Rasulullah SAW. Hadits riwat Imam Bukhari dan Imam Muslim, Ibnu Abbas berkata kepada muazinnya di hari hujan turun, "Jika kamu telah membaca asyhaduanna Muhammadan Rasulullah maka janganlah mengucapkan hayya 'alsh shalah, ucapkanlah shalluu fii buyitikum (shalat lah kalian di rumah-rumah kalian)." Maka tampak orang-orang mengingkarinya, maka di berkata: "Orang yang lebih baik dari saya (Rasulullah)  berbuat demikian. Sesungguhnya shalt Jumat itu adalah azimah. Dan saya tidak suka menyulitkan kalian, kalian berjalan diatas lumpur dan tanah yang licin."

Hadits diatas memberikan keringanan bagi seseorang untuk tidak mengikuti shalat berjamaah ataupun shalat Jumat karena hujan lebat, sementara bahaya penyebaran virus Covid-19 jauh lebih besar dibandingkan bahaya hujan lebat. Maka leringanan meniadakan shalat Jumat karena wabah penyakit menular inipun merupakan bagian dari syariat yang masuk akal dan benar dalam tinjauan fiqh. 

Sebagin ulama yang berbeda pendapat pun memiliki landasan ketidak setujuan nya. Mereka beranggapan ataupun menegaskan bahwa, tidak diperbolehkan meniadakan shalat Jumat karena takut terjangkit Covid-19, mereka berpedoman pada surah an-Nisa ayat 102 yang berbunyi :

"Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalatmu bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh)  dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu sembahyanglah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata."

Pada ayat tersebut, Allah SWT mensyariatkan shalat berjamaan dalam keadaan perang. Artinya, kewajiban shalat berjamaah dan shalat Jumat tidak gugur dalam kondisi perang yang nyata, lalu bagaimana mungkin kewajiban itu gugur hanya karena kekhawatiran yang belum pasti, yaitu kekhawatiran terjangkit ataupun terpapar Covid-19.

Mereka juga bepegangan pada hadits riwayat Abu Hurairah radhiyallahuanhu, ia berkata: "Seorang lelaki yang buta mendatangi Nabi Muhammad SAW, lalu bertanya, 'Ya Rasulullah! Tidak ada orang yang menuntun saya ke masjid. Dia meminta keringanan kepada Rasulullah agar diperbolehkan shalat di rumah. Maka Rasulullah memberikan keringanan baginya. Ketika orang itu akan berpaling pulang, Rasulullah memanggilny, 'Apakah kamu bisa mendengar panggilan shalat? Dia menjawab, 'Ya'. Rasulullah berkata, 'Kalau begitu, shalatlah (Dimasjid) 

Pada hadits di atas,  Nabi Muhammad SAW tidak mengizinkan orang buta untuk meninggalkan shalat berjamaah (termasuk shalat Jumat), padahal tidak ada orang yang menuntunnya ke masjid, dan resiko bahaya yang sangat tinggi. Lalu, bagaimana mungkin shalat berjamaah dan shalat Jumat bisa ditiadakan, sedangkan kemungkinan atau risiko terjangkit Covid-19 itupun belum pastu. 

Dengan demikian, dua pendapat diatas merupakan pendapat yang berlandaskan dengan dalil dari al-Quran dan al-Hadits juga, sehingga kita sebagai orang yang biasa, sebagai mad'u bisa mengambil atau melihat dari pendapat siapa saja. Akan tetapi, ketika kita mengambil keputusan atau merujuk kepada ulama yang kita percayai maka akan siap menanggung risiko ataupun konsekuensi yang akan terjadi pada kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun