Mohon tunggu...
Aris Arianto
Aris Arianto Mohon Tunggu... Guru - Pendidik di SMAN Madani Palu-Sulteng (Meretas Jalan Sunyi)

Pendidik di SMAN Madani Palu-Sulteng (Meretas jalan sunyi)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Asap Rokok, Debu Jalanan, dan Teman Lama

19 Agustus 2019   20:33 Diperbarui: 19 Agustus 2019   22:02 634
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Lagu Obladi Oblada, mengiringi perjalanan kami tepat ditanjakan Kebun Kopi Kabupaten Parigi-Moutong. Tembang milik The Beatles hasil cover version dengan beberapa lagu dalam format nonstop mengalun indah dalam mobil yang kutumpangi menuju kota Palu. Dalam mobil ada 5 penumpang termasuk aku.

Udara dingin dibiarkan masuk dari sela kaca mobil yang sengaja dibuka setengah. Kami mulai merasakan dingin yang kian menusuk tulang. Tapi tak satupun dari kami berlima termasuk sopir mau membungkus tubuh kami dengan pakaian tebal atau jaket.

Jalan berkelok di pegunungan Kebun Kopi yang puncaknya berada pada ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut masih dalam tahap perbaikan pada bagian yang rawan longsor. 

Kondisi ini membuat jalur darat yang menghubungkan Kota Palu dengan kota-kota lainnya, seperti Poso, Luwuk, Makassar, Gorontalo dan Manado dilakukan sistem buka tutup jalan. Jalan dibuka pukul 12-14 WITA, 18-20 WITA, dan 24.00-08.00 WITA. 

Selain waktu tersebut kendaraan tidak bisa lewat karena di titik-titik tertentu kendaraan berukuran besar hilir mudik di sepanjang jalur perbaikan.

Jalur yang berbatasan antara kabupaten Parigi-Moutong dan Kota Palu itu berjarak sekira 86 kilometer. Bisa ditempuh paling cepat 1,5 jam dalam kecepatan 40 kilometer perjam. 

Saat mobil kami masuk jalur ini, jarum jam menunjukkan pukul 12.15 WITA, baru 15 menit dibuka. Antrian panjang berbagai jenis kendaraan menuju Palu tidak terhindarkan. Mobil kami berada di deretan tengah.

Kulirik selintas ke jarum penunjuk kecepatan mobil. Menunjuk pada angka 40. Tak berselang, sang sopir mengambil sebatang rokok. Sejurus kemudian asap mengepul di ruang sempit yang hanya dapat menampung maksimal 7 penumpang. Aku melirik 2 wanita di sampingku. Mereka diam tak bereaksi. Pasalnya mereka menggunakan masker penutup hidung.

Saya merenung tentang si sopir. Apakah dia tak pernah membaca berbagai informasi bahwa asap rokok bisa membunuh dirinya secara perlahan. Tahukah dia bahwa setiap satu menit ada 10 orang terbunuh karena asap rokok? Tahukah si sopir bahwa mereka yang menghirup asap rokok meskipun tidak merokok bisa terkena dampak yang lebih parah dari perokok?

Aku masih menutup hidung dengan tangan kanan. Si sopir masih asik dengan rokoknya. Kaca mobil disamping kiri kuturunkan agak lebar agar udara segar masuk menghalau udara pengab dalam mobil yang berbaur dengan bau asap rokok. Udara dingin tak kuhiraukan.

Setengah jam kemudian. Mobil masuk di jalanan tak beraspal. Empat truk besar pengangkut material ada di depan kami. Suara bising dan asap tebal keluar dari knalpot besar memenuhi udara di jalur padat Kebun Kopi siang itu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun