Mohon tunggu...
Aris Balu
Aris Balu Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Menulis seputar fiksi dan fantasi || Bajawa, Nusa Tenggara Timur

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

"Blue Lock (2022)" Pentingkah Egoisme dalam Sepak Bola?

2 April 2023   13:10 Diperbarui: 3 April 2023   17:48 764
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

AnimeBlueLock|sumber:Zerochan.com

Pada tahun 2018, tim nasional Jepang kembali mengubur mimpi mereka untuk mengangkat tropi piala dunia. Tim Jepang yang kala itu bertemu dengan Belgia di babak 16 besar dipermalukan setelah lebih dahulu unggul dua poin. Belgia yang berhasil membalas dengan memasukan tiga gol ke gawang membuat  tim "samurai biru" harus pulang dengan tangan kosong.

Kejadian itu menjadi tema awal manga "Blue Lock" karya Muneyuki Kaneshiro yang kemudian diadaptasi menjadi serial animasi dengan judul yang sama pada tahun 2022 kemarin. Serial ini bercerita tentang kekesalan asosiasi sepak bola Jepang yang tidak mampu bersaing dengan negara lain, hingga memutuskan untuk mereformasi total persepakbolaannya.

Cerita diawali ketika seorang anak SMA, Isagi Yoichi bertanding untuk memperebutkan tiket menuju kejuaraan nasional. Ketika sampai di depan gawang Isagi mengoper bola ke rekan setimnya yang gagal mencetak gol. Kekalahan tersebut menyayat hatinya yang ingin menjadi seorang striker untuk tim nasional di masa depan.

Setelah pulang, ia mendapat surat dari Asosiasi untuk mengikuti sebuah program pendidikan rahasia. Ia dan 300 anak lain dikumpulkan oleh Ego Sinpachi, seorang jenius sepak bola yang ingin menghancurkan "sepak bola pecundang" kekhasan negara Jepang. Mereka harus berkompetisi secara sengit di dalam fasilitas pelatihan yang lebih mirip penjara yang bernama "Blue Lock".

Tujuannya, melahirkan seorang striker egois berkemampuan tingkat tinggi. Ego berpendapat bahwa sepakbola Jepang yang tertinggal dari negara lain disebabkan karena budaya masyarakat Jepang itu sendiri. Jepang menjunjung tinggi kerjasama sosial dimana setiap orang harus memiliki spesifikasi di bidangnya masing-masing. 

Tim nasional Jepang bekerja seperti sebuah jam dengan roda penggerak berukuran tepat agar dapat bekerja dengan baik. Menurut Ego sepak bola bukanlah olah raga yang seperti itu. Pertandingan dimenangkan dengan memasukan bola ke gawang sebanyak-banyaknya, sehingga kunci dari sepak bola ialah seorang Striker yang mampu mendominasi permainan.

Ego mencontoh striker-striker dunia seperti Cantona, Pele, Messi hingga Ronaldo yang punya egoisme tinggi dan menganggap dirinya pemain terbaik di dunia. Namun benarkah egoisme striker menentukan kualitas dari sebuah tim?

eas6vajxyaaxp5l-642903ff3788d41f6323c8d2.png
eas6vajxyaaxp5l-642903ff3788d41f6323c8d2.png
EgoSinpachi|Sumber:Quotetheanime.com

Untuk menjawab pertanyaan itu, kita harus memaknai arti striker egois yang dimaksud oleh Ego. Striker ialah ujung tombak serangan sebuah tim sepak bola. Ia membawa semangat serta harapan timnya untuk memenangkan sebuah pertandingan.

Oleh karena itu ia memiliki tekanan mental yang ekstra dari pemain lainnya. Stiker yang tidak mampu mengalahkan tekanan tersebut dan memilih mengoper bola ketika berhadapan dengan kiper di depan gawang ialah ujung tombak yang tidak berguna. Menurut Ego, tekanan mental hanya mampu dikuasai dengan memiliki egoisme yang tinggi.

Egoisme dalam serial ini tidak dimaknai sebagai kesombongan tanpa bukti nyata. Seorang striker yang percaya bahwa ia adalah pemain terbaik di dunia harus dibarengi kemampuan luar biasa hingga dirinya tidak bergantung pada anggota tim yang lain. (jadi bukan asal cocot)

Orang-orang seperti itu akan terus menempa dirinya agar tetap berada di puncak, dan terus bertransformasi ketika mengalami kekalahan. Bagi Ego, Jepang tidak mampu melahirkan pemain egois karena kondisi negaranya yang punya kestabilan sosial serta ekonomi yang baik.

 Masyarakat Jepang dibentuk untuk mengisi tugas seperti gear pada jam, sehingga perkembangan hanya mungkin dilakukan dengan melanjutkan tradisi yang sudah ada. Jika satu gear lebih besar dari yang lain, jam tidak akan bisa berdetik. Kondisi sosial tersebut membentuk budaya yang berfokus menjalankan fungsi dan bukan inovasi. (hmmm, kok mirip ya, sama yang "katanya" menjalankan mandat Soekarno.)

Filosofi seperti itu tidak bisa dipakai untuk bermain sepak bola yang sarat akan transformasi. Anggota tim sepak bola bukanlah gear pada sebuah jam yang harus menunjukan waktu dengan tepat (kapan harus mengoper atau kapan harus mundur bertahan), melainkan gear pada mesin motor yang melaju dengan cepat untuk mencapai tujuan (mencetak gol).  

Kondisi di lapangan akan terus berubah, sehingga strategi yang dibuat oleh pelatih belum tentu dapat bekerja selama jalannya pertandingan. Dengan demikian, striker  harus melahirkan inovasi serangan yang didasari kemampuan individual yang ia miliki saat itu juga. Melampaui tim lawan serta timnya sendiri ialah tugas seorang striker. Itulah egoisme striker yang dimaksud oleh Sinpachi Ego.  

Hal tersebut sesungguhnya telah dibuktikan oleh para striker kelas atas dunia. Lionel Messi mendapat julukan "Little Dictator" karena dominasinya di lapangan yang mampu menggiring dan mencetak gol tanpa bergantung pada rekan timnya. Christiano Ronaldo disebut sebagai pemain yang egois oleh pelatih Croasia pada Piala Dunia 2018, Zlatko Dalic. Pendapat tersebut berbunyi:

He is the kind of player that only thinks 'no matter if we lose, the only thing that matters is that I score a goal.'

Ketika Zlatan Ibrahimovic ditanya siapakah "pemain terbaik di dunia sekarang", ia menyebut pemain seperti Lukaku dan Sergio Aguero. Saat ditanya kenapa ia tidak menyebutkan namanya sendiri, ia menjawab,

A lion does not compare themselves with humans.

Sungguh pernyataan seorang striker egois sejati yang masih aktif hingga umur kepala empat. Selain itu, penampilan luar biasa Kylian Mbappe pada piala dunia di tahun 2022 kemarin juga patut diperhitungkan. Hatrick yang ia layangkan ke gawang Argentina meski sudah tertinggal menjadi bukti nyata akan pentingnya Striker bermental juara yang mampu melalui tekanan dan terus mencetak gol.

Memang hingga saat ini belum ada penelitihan yang menunjukan korelasi egoisme dan kemampuan olahraga. Namun kepercayaan diri yang tinggi berpengaruh sangat besar bagi kesuksesan seorang olahragawan. Jika egoisme diartikan sebagai kepercayaan diri yang memotivasi seseorang untuk terus bersaing dan tumbuh, hal tersebut mungkin saja menjadi kunci yang dibutuhkan oleh sebuah negara untuk memajukan sepak bolanya.

Jadi bagaimana menurut teman-teman? apakah Indonesia juga perlu mencari striker-striker egois agar sepak bola kita berkembang ketingkat diatas "liga tarkam"?

Sumber:

1, 2

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun