Doni mengecutkan dahi, tak mengerti akan apa yang dikatakan pak tua didepannya.
"Itu kata-kata yang bagus, tapi aku sama sekali tidak paham maksudmu pak."
"Hidup ialah pilihan yang kita buat setiap detiknya, nak. Buah dari pilihan itu mungkin saja yang selama ini kita dambakan, atau mungkin yang akan selalu kita sesali. Namun akan lebih baik jika kita tetap mengambil pilihan yang kita percayai, lebih baik menekan tombol pada kamera dari pada membiarkannya diatas lemari." Jelas Salgado sebelum melanjutkan,Â
"Kekasihmu telah membuat pilihannya, nak. Ia ingin hidup bersamamu. Memori yang akan kalian buat mungkin tidak sempurna, tapi setiap detiknya terlalu berharga untuk tidak dicoba."
Doni kembali tersenyum melirik pria botak beralis tebal yang duduk didepannya. Sungguh pria yang menarik. Entah apa yang sudah ia alami hingga mampu melihat dunia dengan mata penuh keyakinan. Namun ia merasa ada kebenaran dibalik kata-katanya. Bahwasanya kehidupan bukanlah masalah yang terus dipikirkan, melainkan kenyataan yang tinggal dijalani. Pria tua ini benar. Ia dan kekasihnya telah memilih jalan bersama, keraguan seharusnya tak payah ia hiraukan.
"Kau masih berada di sini dua hari lagi, pak? Aku akan senang jika kau datang ke pernikahanku, mungkin minum bir bersama lagi." Ujarnya.
"Tentu saja, nak." Jawabnya melahirkan memori yang membenak pada seorang anak muda, gambaran akan cahaya putih minimarket, akan lantai berdebu berselimutkan abu rokok, akan senyuman yang lahir dari sekaleng minuman serta persahabatan.