Mohon tunggu...
Arip Rip
Arip Rip Mohon Tunggu... Lainnya - keep calm you have self confidence

Lahir di Kotamobagu, Sulawesi Utara dan saat ini bertugas sebagai ASN pada salah satu Biro Hukum Sekretariat Kementerian Koordinator. Berdomisili di area Bogor serta menyukai berbagai sajian kuliner nusantara, merupakan pencinta tempe gembus dan tahu bakso yang hobby menulis, traveling dan musik.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Marine Plastic Debris" Hadir dalam Negasi Komunal Puluhan Tahun

10 Agustus 2017   18:14 Diperbarui: 10 Agustus 2017   20:42 1412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

       Berkenaan dengan perhelatan International Symposium Marine Plastic Debris Solution di Makassar tanggal 9 Agustus 2017 oleh Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, ihwal ini sedikitnya menandai pengakuan kita untuk memulangkan kesadaran komunal bahwa laut, halaman rumah kita yang selama ini diacuhkan sedang butuh perhatian serius dari ancaman pencemaran lingkungan laut yang berasal dari sampah plastik.

       Akselerasi pengelolaan sampah plastik menjadi prioritas dengan urgensi mendesak selepas Presiden Jokowi mengusung komitmen reduksi sampah plastik pada KTT G-20 di Hamburg Jerman tanggal 7 Juli 2017. Senada dengan komitmen diatas, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman juga menyampaikan target goal pada tahun 2025, akan mengurangi 70% sampah plastik di laut dari tahun 2017, lebih lanjut mencegah dan mengurangi secara signifikan polusi laut dari segala jenis, terutama dari kegiatan berbasis darat, termasuk sampah laut dan polusi nutrisi, dalam The Ocean Confference PBB di New York tanggal 5-9 Juni 2017.

       Dengan label negara pendonor sampah plastik ke laut terbesar kedua di dunia, yakni sebesar 187,2 juta ton setelah Cina yang mencapai 262,9 juta ton (Jambeck 2015), apabila rerata menyumbang 3,22 juta ton sampah plastik ke lautan setiap tahun, rasanya tidak arif apabila kita masih berpangku tangan dan bersikap apatis dengan fakta kerusakan lingkungan laut akibat sampah plastik yang secara tidak sadar melibatkan kontribusi aktivitas darat hampir 80 persen selama bertahun-tahun.   

       Serangan sampah plastik laut adalah malapetaka gerak lambat, menjadi teror nyata bagi kesehatan kita. Menengok survei literatur ilmiah tentang bahaya plastik bagi kesehatan manusia dan ekosistem, didapati bahwa efek terhadap lingkungan dari limbah plastik telah akut, pengukuran dari daerah yang paling terkontaminasi lautan di dunia menunjukkan bahwa massa dari plastik melebihi plankton enam kali lipat (Rolf Halden). Selanjutnya plastik dan aditifnya tidak hanya di sekitar kita, melainkan telah berada di dalam darah dan urin kita dalam jumlah yang terukur, tertelan melalui makanan yang kita makan, air yang kita minum dan dari sumber lain. 

Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan bahwa ikan dan kerang dari banyak belahan dunia mengkonsumsi plastik dan mikro plastik yang menjadi ancaman bagi banyak spesies di lautan. Pun saat ini, tidak ada jaminan bahwa ikan yang diperoleh dari tangkapan di laut merupakan ikan yang tidak terkontaminasi plastik dan atau mikro plastik.

       Dengan latar belakang ini, relevansi Indonesia yang notabene sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan anugerah keanekaragaman hayati, sumber daya alam yang kaya serta nilai strategis dan ekonomis, selayaknya berdiri didepan, mengambil tanggung jawab atas urgensi penyelesaian sampah plastik yang telah menjadi permasalahan global.  

       Jauh merunut jejak konvensi internasional, sebenarnya upaya perlindungan dan pelestarian lingkungan laut telah menjadi perhatian dunia dengan terbitnya UNCLOS 1982 sebagaimana telah kita ratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985. Pasal 194 ayat (1) menyebutkan bahwa "Negara-negara harus mengambil segala tindakan yang perlu sesuai dengan konvensi, baik secara individual maupun secara bersama-sama menurut keperluan untuk mencegah, mengurangi dan mengendalikan pencemaran lingkungan laut yang disebabkan oleh setiap sumber dengan menggunakan untuk keperluan ini cara-cara yang paling praktis yang ada pada mereka dan sesuai dengan kemampuan mereka, selagi negara-negara ini harus berusaha sungguh-sungguh untuk menyerasikan kebijaksanaan mereka dalam hal ini".

       Lebih lanjut, ayat (3) menerangkan tindakan yang diambil berdasarkan ketentuan Bab ini harus meliputi segala sumber pencemaran lingkungan laut. Tindakan ini harus  mencakup interalia tindakan--tindakan yang direncanakan untuk mengurangi sejauh mungkin  salah satunya adalah dilepaskannya bahan-bahan yang beracun, berbahaya atau mengganggu, khususnya bahan-bahan yang persisten, yang berasal dari sumber daratan, dari atau melalui udara, atau karena dumping.

       Mencermati ketentuan internasional tersebut, 35 tahun lalu, dengan efektif pelaksanaan yang tereduksi 3 tahun, sangat bijak apabila pemerintah dapat memerkirakan serta memasukkan pengaturan tentang permasalahan interkoneksi laut dan daratan termasuk sampah sebagai derivasinya ke dalam skala pengaturan prioritas nasional lebih awal. Namun rupanya sampah memang selama ini bukan hal dengan urgensi pengelolaan prioritas. Berangkat dari filosofi kumpul, angkut, buang ke TPA ternyata berimplikasi terhadap tidak tuntasnya pengelolaan sampah, terlebih setelah pengaturan sampah sebagai sumber pencemaran laut dari daratan didesentralisir dari urusan pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Koheren dengan persoalan mendasar tentang sampah tersebut adalah terbatasnya anggaran pengelolaan sampah di daerah sehingga penyelesaiannya tidak maksimal.  

       Selama 23 tahun kemudian, sampah baru disadari telah menjadi permasalahan nasional sehingga pengelolaannya perlu dilakukan secara komprehensif dan terpadu dari hulu ke hilir agar memberikan manfaat secara ekonomi, sehat bagi masyarakat, dan aman bagi lingkungan, serta dapat mengubah perilaku masyarakat, ditandai dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah serta Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Konsekuensi dari terbitnya regulasi tersebut adalah perlunya akselerasi menetapkan kebijakan dan strategi nasional pengelolaan sampah yang hingga kini masih dalam tahap menunggu pengesahan Presiden.

       Desain tindakan sebagaimana amanat ketentuan internasional telah berada dalam jalur yang seharusnya, dengan beberapa evaluasi dan tinjauan secara spesfifk kiranya dapat memberikan solusi terhadap kebermanfaatan sampah melalui pengelolaan yang integratif dan komprehensif. Artinya pengelolaan sampah dapat diintegrasikan kedalam sistem ekonomi sehingga kedepan mempunyai lifetime yang panjang karena memiliki nilai ekonomis dalam masyarakat, termasuk perlunya dorongan gagasan pemerintah untuk memberikan rekomendasi dan restriksi penggunaan plastik konvensional serta insentif bagi produksi plastik biodegradable.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun