Mohon tunggu...
Ario
Ario Mohon Tunggu... Sarjana Hukum

A Bachelor of Law graduate from Universitas Jambi with a strong passion for legal analysis and writing. Experienced in handling various legal cases and actively engaged in academic and organizational activities. With strong research skills, I enjoy exploring diverse legal perspectives to provide well-balanced and effective solutions.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Birokrasi SKCK yang Kaku : Ketika Digitalisasi Gagal Menjawab Mobilitas Warga

21 April 2025   15:37 Diperbarui: 21 April 2025   15:37 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Jambi, 21 April 2025 -- Di tengah gencarnya narasi digitalisasi pelayanan publik, fakta di lapangan justru menunjukkan ironi: alih-alih memangkas hambatan birokrasi, teknologi justru menyamarkan rigiditas sistem lama yang tak kunjung diperbarui. Salah satu potret buramnya adalah pengurusan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK)---sebuah dokumen yang seharusnya menjadi alat pemberdayaan warga, namun sering kali berubah menjadi alat seleksi administratif yang mempersulit.

Realita: Ketika Sistem Tidak Bergerak Secepat Rakyatnya

Ario (22), seorang perantau asal Sumatera Selatan yang kini berdomisili di Jambi, menjadi korban dari kegagalan sistem yang tak responsif terhadap mobilitas masyarakat. Saat mencoba mengurus SKCK melalui Super App Presisi Polri, yang digadang-gadang sebagai wajah baru digitalisasi kepolisian ia justru terhenti di tembok birokrasi klasik: dokumen hanya bisa diterbitkan sesuai dengan alamat KTP.

"Aneh sekali. Data saya sudah digital, identitas sudah terekam biometrik, tapi saya tetap disuruh pulang ke kampung halaman hanya untuk mencetak selembar surat?" keluhnya.

Apa yang dialami Ario bukan kasus tunggal, melainkan gejala sistemik dari kegagalan negara dalam menyelaraskan regulasi dengan realitas sosial. Ketika layanan daring hanya menutupi lubang birokrasi tanpa menambalnya dari dalam, yang dirugikan adalah warga negara yang bergerak lebih cepat dari sistem yang melayaninya.

Digitalisasi Setengah Hati: Modern di Tampilan, Konvensional di Inti

SKCK online hanyalah kemasan baru dari mekanisme lama. Pengajuan memang dapat dilakukan daring, namun verifikasi fisik tetap diwajibkan, dan penerbitan dokumen hanya dapat dilakukan di wilayah KTP, seakan-akan manusia tidak pernah berpindah domisili.

Laporan Kompas.com (2023) bahkan mengungkap bahwa fitur lintas wilayah belum tersedia, membuat SKCK online tak ubahnya jembatan putus di tengah jalan. Sementara itu, negara lain seperti Estonia telah memungkinkan penerbitan dokumen hukum lintas yurisdiksi dengan satu identitas digital nasional.

Lebih jauh, Wahyu Eko Yudiatmaja dan Alfiandri dalam Good Governance Review (2022) menilai bahwa digitalisasi SKCK sejauh ini hanya menyentuh aspek front-end, belum menyentuh integrasi database nasional maupun tanda tangan elektronik. Akibatnya, kecepatan layanan tetap ditentukan oleh keberadaan fisik pemohon, bukan oleh sistem yang seharusnya menggantikan beban itu.

Ketimpangan yang Terbaca dari Akar Regulasi

Menurut Dr. Mudzakir, pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia, SKCK seharusnya dapat diterbitkan dari mana saja karena data kriminal seseorang bersifat nasional dan terintegrasi. Pernyataannya mencerminkan problem utama: regulasi tertinggal dari teknologi. Sistem data nasional telah terhubung, tetapi Polri masih menggunakan SOP berbasis domisili administratif yang rigid.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun