Jambi, 21 April 2025 -- Di tengah gencarnya narasi digitalisasi pelayanan publik, fakta di lapangan justru menunjukkan ironi: alih-alih memangkas hambatan birokrasi, teknologi justru menyamarkan rigiditas sistem lama yang tak kunjung diperbarui. Salah satu potret buramnya adalah pengurusan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK)---sebuah dokumen yang seharusnya menjadi alat pemberdayaan warga, namun sering kali berubah menjadi alat seleksi administratif yang mempersulit.
Realita: Ketika Sistem Tidak Bergerak Secepat Rakyatnya
Ario (22), seorang perantau asal Sumatera Selatan yang kini berdomisili di Jambi, menjadi korban dari kegagalan sistem yang tak responsif terhadap mobilitas masyarakat. Saat mencoba mengurus SKCK melalui Super App Presisi Polri, yang digadang-gadang sebagai wajah baru digitalisasi kepolisian ia justru terhenti di tembok birokrasi klasik: dokumen hanya bisa diterbitkan sesuai dengan alamat KTP.
"Aneh sekali. Data saya sudah digital, identitas sudah terekam biometrik, tapi saya tetap disuruh pulang ke kampung halaman hanya untuk mencetak selembar surat?" keluhnya.
Apa yang dialami Ario bukan kasus tunggal, melainkan gejala sistemik dari kegagalan negara dalam menyelaraskan regulasi dengan realitas sosial. Ketika layanan daring hanya menutupi lubang birokrasi tanpa menambalnya dari dalam, yang dirugikan adalah warga negara yang bergerak lebih cepat dari sistem yang melayaninya.
Digitalisasi Setengah Hati: Modern di Tampilan, Konvensional di Inti
SKCK online hanyalah kemasan baru dari mekanisme lama. Pengajuan memang dapat dilakukan daring, namun verifikasi fisik tetap diwajibkan, dan penerbitan dokumen hanya dapat dilakukan di wilayah KTP, seakan-akan manusia tidak pernah berpindah domisili.
Laporan Kompas.com (2023) bahkan mengungkap bahwa fitur lintas wilayah belum tersedia, membuat SKCK online tak ubahnya jembatan putus di tengah jalan. Sementara itu, negara lain seperti Estonia telah memungkinkan penerbitan dokumen hukum lintas yurisdiksi dengan satu identitas digital nasional.
Lebih jauh, Wahyu Eko Yudiatmaja dan Alfiandri dalam Good Governance Review (2022) menilai bahwa digitalisasi SKCK sejauh ini hanya menyentuh aspek front-end, belum menyentuh integrasi database nasional maupun tanda tangan elektronik. Akibatnya, kecepatan layanan tetap ditentukan oleh keberadaan fisik pemohon, bukan oleh sistem yang seharusnya menggantikan beban itu.
Ketimpangan yang Terbaca dari Akar Regulasi
Menurut Dr. Mudzakir, pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia, SKCK seharusnya dapat diterbitkan dari mana saja karena data kriminal seseorang bersifat nasional dan terintegrasi. Pernyataannya mencerminkan problem utama: regulasi tertinggal dari teknologi. Sistem data nasional telah terhubung, tetapi Polri masih menggunakan SOP berbasis domisili administratif yang rigid.