Mohon tunggu...
Dimas Wibisono
Dimas Wibisono Mohon Tunggu... Guru - Akademisi di salah satu universitas di Riyadh, Arab Saudi

Lahir, membesar dan sekolah di Yogyakarta. Sampai kini masih belajar sambil mengajar di lingkungan pendidikan tinggi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Di Saudi Biaya Sekolah Bikin Susah

2 Desember 2019   00:23 Diperbarui: 3 Desember 2019   13:36 796
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi | Foto: Pixabay/Ponce_Photohraphy

Anak saya ada empat. Tapi hanya satu yang ikut tinggal di Saudi, usia 13 tahun, sekarang duduk di klas satu SMP. Dibandingkan dengan kakak-kakaknya, si bungsu ini dari segi usia agak merugi. 

Karena dulu ketika kami tinggal di Inggris, anak usia lima tahun sudah masuk klas satu SD, artinya pada usia 13 tahun semestinya sudah duduk di klas tiga SMP.

Selisih dua tahun karena waktu itu harus pindah sekolah dari Indonesia ke Malaysia, kemudian dari Malaysia ke Arab Saudi, kebetulan tidak dapat terlaksana pada saat yang tepat.

Di Saudi sekolah lokal sangat murah atau bahkan gratis, tapi pengantarnya memakai bahasa Arab, dan kami sama sekali tidak paham bahasa itu. Di Riyadh sebetulnya ada Sekolah Indonesia. 

Tapi lokasinya jauh sekali dari universitas tempat saya mengajar atau dari apartemen tempat kami tinggal, sekitar 20 km sekali jalan. Layanan bus sekolah pun tidak sampai ke tempat kami karena masalah jarak ini. Plus, kami belum punya kendaraan sendiri.

Maka, satu-satunya pilihan anak saya harus masuk ke sekolah internasional yang relatif dekat dari rumah dan tempat kerja saya. Pilihan itu jatuh ke Al Motaqadimah Internatioanl School.

Namanya memang sekolah internasional, tapi hanya pelajaran di kelas yang memakai bahasa Inggris, selebihnya hampir sepenuhnya menggunakan bahasa Arab. 

Sebagian besar staff tidak paham bahasa Inggris, pengumuman penting pun disampaikan dalam bahasa Arab.

Pernah saya hadir pada acara pertemuan orangtua murid dalam rangka orientasi sekolah. Seluruh rangkaian acara disampaikan dalam bahasa Arab. Mungkin karena saya satu-satunya tamu yang non-Arab, selebihnya kebanyakan datang dari sekitar Arab Saudi (Mesir, Jordania, Palestina).

Al Motaqadimah International School itu sengaja kami pilih, karena kalau dibandingkan dengan sekolah internasional lainnya, terutama dari segi biaya, kedekatan dengan tempat tinggal, gedung sekolah dan fasilitasnya, paling menarik. 

Meskipun relatif murah, total biaya per tahun, kalau dibandingkan dengan sekolah di negeri sendiri, cukup mencekik leher. Uang SPP (tuition fee) SAR 20.000, buku SAR 2.500, abonemen bus SAR 3.600, semuanya per tahun. Total SAR 26.000, kira-kira setara dengan 90 juta rupiah per tahun atau 7,5 juta rupiah per bulan.

Gambaran mudahnya, biaya sekolah sebulan di Saudi bisa dipakai untuk sekolah setahun di negeri sendiri.

Mengenai buku, kami harus membeli di toko buku yang ditunjuk. Kami pernah mencoba berkeliling ke toko-toko buku lain di Riyadh, tak satupun dari sekitar 10 buku dalam daftar yang diberikan sekolah, tersedia. Ada satu buku, sampul tebal (hard cover), layaknya 'text book' untuk pegangan mahasiswa, harganya mendekati dua juta rupiah

Keluhan kami tak berhenti disini. 

Sewaktu saya ke toko buku yang ditunjuk itu, ternyata tak semua buku tersedia. Dari 11 buku hanya ada tujuh.

Untuk mendapatkan sisanya saya harus bolak-balik ke toko itu seminggu sekali sampai empat kali.

Artinya, satu-satunya toko buku yang ditunjuk ternyata tidak siap memenuhi permintaan. Kemungkinan lain, harga yang mahal itu bisa jadi karena adanya praktik monopoli pengadaan buku.

Teorinya, dengan membeli buku di tempat 'resmi' itu, setelah menunjukkan kwitansi bukti pembelian buku, kami akan mendapat 'user name' dan 'password' untuk mengakses buku-buku pelajaran yang lain dan soal-soal latihan.

Kenyataannya, sampai saat kenaikan klas 'user name' dan 'password' itu tak pernah diberikan.

Tuition fee memang diganti oleh universitas tempat saya bekerja, tapi uang buku dan langganan bus jemputan tidak. Dan cara menetapkan harga layanan bus itu pun tergolong tidak lazim.

Untuk layanan sekali jalan, dari rumah ke sekolah atau dari sekolah ke rumah saja, SAR 3.000 per tahun. Sedangkan layanan pergi-pulang SAR 3,600 per tahun. Seolah-olah orangtua dipaksa melanggan bus sekolah pergi-pulang, meskipun mungkin yang diperlukan hanya sekali jalan.

Cerita tentang mahalnya biaya sekolah masih berlanjut. Beberapa waktu yang lalu ada promosi kegiatan ekstra kurikuler berupa latihan sepak bola, berenang, dan lain-lain. Tadinya saya kira gratis, karena sudah termasuk dalam 'tuition fee' yang kami bayar. Ternyata tidak.

Dalam selebaran promosi yang dibagikan tertera angka SAR 200 untuk sepak bola. Sudah gitu tidak dijelaskan harga tersebut apakah untuk iuran sebulan, setahun, atau biaya pendaftaran saja.

Karena anak saya ingin ikut latihan sepak bola, saya tanyakan ke salah satu guru di sekolah itu. Jawabannya sungguh sangat mengejutkan, karena biaya latihan SAR 200 itu untuk sekali datang, seminggu sekali.

Saya langsung 'mundur teratur', tak sanggup membayar sebanyak itu untuk sekali latihan bola yang hanya beberapa jam.

Pada tiap semester (6 bulan) selalu ada 'school trip' satu atau dua kali, biasanya mengunjungi museum atau taman tema (theme park).

Pada school trip terakhir beberapa minggu yang lalu anak-anak kelas diajak bermain 'paint ball', dengan biaya SAR 150 per anak.

Sayangnya, kata anak saya, kebanyakan anak-anak tidak puas, karena baru bermain sebentar (kurang dari satu jam) sudah disuruh berhenti untuk acara makan siang, kemudian pulang. 

Pengalaman kami kalau berkunjung ke theme park, kami selalu berlama-lama, bermain sampai puas. Sayang kalau harga tiket masuk yang mahal hanya dimanfaatkan sebentar saja.

Berdasarkan pengalaman tersebut, dapat dipahami bahwa kalau ada acara school trip serupa, banyak anak yang tidak mau ikut. Mereka lebih memilih tinggal di rumah (yang tidak mengikuti school trip boleh tidak masuk sekolah).

Satu hal lagi yang berbeda dengan pendidikan di Indonesia, di Saudi tidak ada 'Ijazah Sekolah Dasar'. Sekolah hanya akan memberikan daftar nilai sebagai tanda lulus sekolah.

Meskipun demikian, selalu diadakan upacara besar layaknya wisuda sarjana, lengkap dengan jubah dan toga, untuk merayakan kelulusan.  Tetapi, ya, lagi-lagi, kami harus membayar mahal untuk biaya wisuda, termasuk untuk membeli jubah dan toga sebagai pakaian wajib.

Pada acara wisuda sarjana yang sesungguhnya, biasanya jubah dan toga itu disewa saja, sehingga biayanya lebih ringan. Tapi begitulah kebiasaan di Saudi, yang serba wah dan mewah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun