Mohon tunggu...
Dimas Wibisono
Dimas Wibisono Mohon Tunggu... Guru - Akademisi di salah satu universitas di Riyadh, Arab Saudi

Lahir, membesar dan sekolah di Yogyakarta. Sampai kini masih belajar sambil mengajar di lingkungan pendidikan tinggi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Serba-serbi Negeri Saudi

26 Agustus 2019   01:44 Diperbarui: 26 Agustus 2019   03:07 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sudah dua tahun ini saya sekeluarga tinggal di Riyadh, Saudi Arabia. Sebelumnya kami tinggal di Malaysia 11 tahun, 6 tahun di Serdang (Selangor) dan 5 tahun di Gambang (Pahang). Asal mula kami pindah ke Saudi adalah karena 'kiamat sudah semakin dekat', dan tempat yang paling aman untuk menghadapi hari akhir adalah di Mekkah atau Madinah.

Setahun terakhir di Malaysia saya rajin mencari lowongan kerja di sekitar Mekkah, Madinah atau Jeddah, tapi belum berhasil. Dapatnya di Riyadh, tinggal 1000 km saja ke Mekkah atau Madinah. Jadi kami putuskan untuk memulai hidup baru di Saudi.

Berikut ini akan saya ceritakan suka-duka dan serba-serbi tinggal di negara Arab, mungkin berguna untuk mereka yang sedang mempersiapkan diri untuk bekerja di wilayah Timur Tengah, khususnya di Saudi Arabia.

Pengurusan Dokumen Rumit

Saya dapat tawaran mengajar di salah satu universitas negeri di Riyadh, Untuk mengurus visa kerja perlu beberapa dokumen penting, diantaranya ijazah pendidikan tinggi (S1, S2 dan S3) yang harus disahkan (attested) oleh Saudi Arabia Cultural Mission (SACM) di negara tempat ijazah itu dikeluarkan. Ini yang bikin rumit, karena tidak semua negara ada SACM, sehingga pengesahan harus dilakukan di negara lain yang mewakili Saudi.

Bayangkan, saya punya ijazah S1 dari Indonesia, S2 dari Thailand and S3 dari Inggris. Ijazah S1 dari Indonesia disahkan oleh SACM di Kuala Lumpur (KL), ijazah S3 dari Inggris oleh SACM di London.

Yang aneh, pejabat di Kedutaan Besar Saudi Arabia di KL mengatakan bahwa di Thailand tidak ada Kedutaan Saudi. Jadi saya disuruh mencari tahu sendiri negara mana yang mewakili Saudi di Thailand. Akhirnya dari browsing di internet saya mendapat informasi bahwa untuk universitas di Thailand pengesahan dilakukan di SACM Singapore.

Tidak perlu diceritakan panjang lebar disini, ijazah S1 saya urus sendiri di Yogyakarta (UGM) dan KL. Prosesnya singkat dan sederhana, ibarat di 'rumah sendiri'. Untuk pengurusan ijazah S2 saya harus berkunjung ke almamater saya di AIT (Bangkok), kemudian ke 'Directorate General of Higher Education' (Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi) dan 'Ministry of Foreign Affairs' (Kementerian Luar Negeri), selanjutnya ke SACM di Singapore. Untuk itu saya harus ke Bangkok dan Singapore masing2 dua kali, karena prosesnya tidak mungkin selesai dalam 2-3 hari yang bisa ditunggu.

Pengurusan ijazah S3 dari Inggris ini yang jadi masalah. Saya tidak mungkin datang sendiri ke almamater saya di Leeds, kemudian ke Kedubes Saudi di London. Biayanya terlalu mahal dan makan waktu lama karena harus mengurus visa dan sebagainya. Ada teman lulusan universitas di Amerika Serikat yang sudah bekerja di Jeddah memberi saya nama biro jasa dan 'contact person' di London yang bisa membantu mengurus pengesahan ijazah disana.

Biayanya 2000 ringgit lebih ditambah ongkos kirim dokumen antara KL dan London (2 arah) dengan DHL. Waktunya diperkirakan 6 minggu. Saya tidak punya pilihan lain. Dengan rasa was-was ijazah S3 asli saya kirim ke London. Alhamdulillah setelah kira-kira 6 minggu saya mendapat kabar bahwa prosesnya sudah selesai, dan ijazah dikirim kembali ke Malaysia dengan selamat.

Tak kalah rumit adalah proses pemeriksaan kesehatan, yang harus dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk oleh Kedubes Saudi di Malaysia. Pemeriksaan sangat lengkap termasuk check darah, urine, faeces, rontgen dan vaksinasi meningitis, untuk semua anggota keluarga yang akan berangkat.

Pengalaman sebelumnya, biasanya yang diperiksa hanya yang bekerja saja, sedangkan isteri dan anak tidak perlu. Cerita dokter yang melakukan pemeriksaan, Kedubes Saudi biasanya sangat ketat, ada cacat sedikit saja langsung ditolak. Beruntung kami semua (plus isteri dan anak) sehat dan lolos.

Persyaratan untuk mengurus visa sudah lengkap, pergilah saya ke Kedubes Saudi di KL. Malangnya, ternyata 'calling visa' atas nama saya salah alamat. Dari Kementerian Luar Negeri Saudi di Riyadh seharusnya dikirim ke Kedubes Saudi di KL (tempat kerja terakhir), tapi nyasar ke Jakarta (karena saya warga negara Indonesia).

Ada 2 pilihan bagi saya: ke Jakarta untuk mengurus visa disana (konsekwensinya hasil pemeriksaan kesehatan di Malaysia tidak berlaku, harus diulang dari awal, mahal dan ada kemungkinan kurang fit karena sudah kecapekan), atau minta 'employer' untuk 'switch calling visa' dari Jakarta ke KL (prosesnya perlu waktu yang tidak bisa diperkirakan, karena birokrasi di Saudi biasanya lambat).

Saya memilih cara kedua meskipun harus menunggu tanpa kepastian kapan selesai. Sementara itu, seharusnya saya bisa datang di Saudi sebelum masa perkuliahan dimulai, sehingga ada cukup waktu untuk mempersiapkan diri sebelum mulai mengajar. Akibat kasus calling visa salah alamat ini, keberangkatan saya mundur hampir 2 bulan, perkuliahan sudah berjalan 7 minggu. Apa boleh buat.

Harus Berbekal Cukup
Akhirnya, setelah melalui perjuangan berliku, visa Saudi sudah ditangan. Tinggal mempersiapkan keberangkatan pada hari yang sudah kami tentukan. Ternyata, kerumitan tidak berhenti disini. Menurut penjelasan Atase Pendidikan Saudi di KL, agen yang ditunjuk untuk mengurus tiket kami ke Saudi sedang ada masalah, sehingga kami terpaksa harus membeli sendiri tiket penerbangan KL-Riyadh menggunakan maskapai Saudia.

Dibandingkan dengan maskapai lain (Emirates, Etihad, Oman Air), tiket Saudi termasuk mahal. Tapi kalau kami menggunakan maskapai lain, biaya tiket tidak akan diganti. Jadilah kami terbang ke Riyadh dengan Saudia pada akhir Oktober 2017.

Dokumen yang saya siapkan sudah lengkap sesuai dengan permintaan fakultas tempat saya akan bekerja nanti. Hal ini berdasarkan bukti komunikasi e-mail sebelumnya dengan Sekretaris Jurusan. Apa mau dikata, ternyata ada beberapa dokumen tambahan yang diminta oleh pihak universitas. Sebetulnya, menjadi kewajiban pihak fakultas dan universitas untuk bersama-sama menyelesaikan.

Tapi yang terjadi adalah saya yang dituntut untuk melengkapkan kekurangan itu. Saya harus mondar antara kantor administrasi universitas dengan fakultas, semua dokumen dalam bahasa dan tulisan Arab, sedangkan saya sama sekali tidak faham bahasa Arab, lebih-lebih lagi staff yang mengurusi pekerja asing (expatriate) pun kebanyakan tidak mengerti bahasa Inggris. Kalau tidak dibantu teman-teman sesama expatriate yang sudah ada lebih dulu, mungkin saya akan 'stress'.

Ada satu dokumen penting, yang harus disiapkan selagi saya masih di Malaysia, tetapi baru diminta setelah saya tiba di Riyadh. Untung saya masih punya teman di Malaysia, yang saya bisa minta tolong untuk mengurusnya, meskipun dengan amat sangat sungkan. Karena kasus ini saya terlambat untuk mendapatkan iqama (KTP di Saudi) sampai 5 bulan.

Rentetan akibatnya: gaji tidak bisa dibayar, anak tidak bisa mulai sekolah, kami sekeluarga tidak bisa pergi kemana-mana, karena 'entry visa' yang hanya berlaku 90 hari sudah habis. Keinginan untuk pergi umrah pun sirna seketika.

Kami tidak pernah membayangkan sebelumnya, harus bertahan hidup tanpa gaji sama sekali, jauh di negeri orang, sampai 5 bulan. Beruntung saya masih punya tabungan cukup di Indonesia, yang bisa diambil melalui ATM di Saudi. Itupun saya harus mencoba beberapa ATM dari bank yang berbeda, karena tidak semua ATM, dan tidak semua bank, bisa melayani pengambilan uang dari bank asing (international withdrawal). Sejauh ini saya hanya bisa mengambil uang dari tabungan di BNI atau Bank Mandiri melalui ATM Bank Samba.

Setelah iqama ada ditangan gaji dan tunjangan mulai keluar pada bulan keenam. Tapi persoalan keuangan masih berlanjut. Mulanya saya dijanjikan dalam surat tawaran (letter of offer) akan memperoleh 'qualification allowance' sebesar 100% dari gaji pokok.

Belakangan pihak universitas menolak membayar 'qualification allowance' dengan berbagai alasan. Jadi saya hanya mendapat gaji setengah dari yang dijanjikan.

Secara teori jumlah ini tidak cukup untuk membayar sewa apartemen, bayar uang sekolah anak (dengan harga buku dan transportasi yang sangat mahal). Tetapi kami dituntut untuk mengatur sedemikian rupa sehingga harus bisa dibuat cukup. Dan itulah hebatnya orang kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun