Mohon tunggu...
Arini Rachmatika
Arini Rachmatika Mohon Tunggu... Ilustrator - heuheu

i write

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

"The Stranger", Memandang Hidup yang Datar dari Kacamata Meursault

6 Desember 2018   01:58 Diperbarui: 6 Desember 2018   14:59 875
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Buku ini ditulis oleh Albert Camus, tokoh sastra yang waktu SMP pernah nggak sengaja gue temuin quotenya;

Jangan berjalan di belakangku, aku mungkin tidak memimpin. Jangan berjalan di depanku, aku mungkin tidak mengikuti. Berjalanlah di sampingku, dan jadilah temanku.

Sebuah quote yang sangat disuka, yang sering gue rapal pada masanya. Sialnya meski familiar di kuping, quote ini, nggak ngebuat cara berteman gue jadi lebih baik.

Btw buku ini masuk dalam daftar 1001 Books You Must Read Before You Die.

Isi ceritanya sederhana, tapi kayaknya sesuatu yang sebenarnya ingin Camus katakan ini cukup kompleks deh. Iya, soalnya kita nggak dengan mudah bisa nerima kesederhanaan cara berpikir tokoh ciptannya.

Orang Asing, yang versi aslinya berjudul The Stranger, bercerita tentang seorang pemuda usia tiga puluhan barangkali. Berperan sebagai orang biasa dengan gejolak hati yang serba stagnan. Bahasa alaynya, segalanya b aja.

Nothing special, everything is ordinary.

Diawali dengan kisah ibu si tokoh utama, Mersault, yang meninggal di panti jompo. Dia datang ke acara pemakamannya dengan perasaan yang biasa-biasa aja, bahkan nggak mau ngeliat ibunya untuk terakhir kali. Alasannya bukan karena saking sedihnya dia, tapi karena dirasanya nggak perlu. Yang pergi biarlah pergi.

Sampe Mersault balik kerja buat keesokan hari, dia bilang, kalo nggak salah kalimatnya kayak gini (atau nggak mirip-mirip hehe), "Akhir pekan telah berlalu, ibu sudah dikuburkan, aku akan bekerja dan hari-hari akan berlanjut seperti biasanya."

His way of thinking makes me look deeper to my own self.

Dan iya, memang, hari-hari emang akan berlanjut seperti biasa. Bahkan kita, kita juga. Setelah kejadian paling perih sekalipun, waktu bakal mengobati dan hidup akan biasa-biasa lagi. The difference is... this man's ability of adapting is quite fast.

Selanjutnya, diceritain Mersault ketemu mantan pacarnya, Marie. Si Mantah jatuh cinta lagi sama Mersault dan bener-bener seneng. They had sex and his ex-gf was asking for a marriage.

Mersault setuju-setuju aja kalo Marie minta nikah. Tanpa emosi. Tanpa gejolak hasrat. Tanpa rencana pesta yang aneh-aneh. Pernikahan hanyalah pernikahan. Terus pas perempuannya nanya,

"Apakah  kau mencintaiku?"

"Mungkin tidak."

"Kemudian mengapa kau mau menikahiku?"

Pokoknya laki ini ngejawab menikah adalah sesuatu yang mudah dan kalau perempuannya menyenangi hal itu, dia menyanggupi pernikahan.

Aneh? Berani?

Sama, sampe suatu hari Mersault kena musibah. Ceritanya dia sama calon istrinya, Marie lagi berlibur ke pantai. Terus gara-gara temennya, dia jadi terlibat suatu masalah. Karena suatu hal yang bukan disebabkan olehnya, seorang lelaki besar yang punya masalah sama temennya Mersault tiba-tiba udah ngeluarin pisau dan siap-siap nyerang dia. Nah kebetulan tokoh utama kita ini lagi megang pistol temennya yang iseng-iseng dia bawa dari penginapan tadi. Untuk membela diri, berdasarkan akal sehat yang bekerja di kepalanya, Mersault berpikir alangkah wajarnya kalau ia letuskan peluru ke si penyerang itu.

Matanya terpejam, dan dia melesatkan beberapa tembakan.

Penyerangnya mati dan Mersault diadili.

Karena pembelaan dia apa adanya, tanpa pleidoi yang berlebihan dan dibuat-buat, beneran apa adanya, Mersault sayang dicurigai punya kepribadian psikopat. Kematian ibunya  di panti jompo diseret-seret ke pengadilan, dipertanyakan kenapa seorang anak bisa berprilaku ala kadarnya sama ibunya sendiri.

Tapi Mersault ini ya tetep jawab apa adanya, bahwa dia nggak cukup punya uang buat ngerawat ibunya di rumah. Tentang kematiannya juga dia jawab dengan sama sederhananya. Diambilnya sebuah penjelasan dari yang dia pahami selama ini, kalo kematian seorang ibu adalah hal yang biasa dan nggak usah berlebihan karenanya.

Akhirnya dia dinyatakan bersalah dan divonis hukuman mati. 

Yang menarik ketika dia di dalam sel. Mersault sadar hasrat yang dia miliki, yang selama ini jarang muncul. Kayak buat sekadar liat udara terbuka, jalan-jalan di pantai, atau sentuhan perempuan. Tokoh kita ini dapet pemahaman baru kenapa orang yang bersalah dijeblosin ke penjara, bahwa penjara nggak cuma sekedar jeruji besi. Sel lapas nggak cuma memenjarakan tubuhnya, tapi juga memenjarakan hasrat hidupnya, keinginan-keinginannya, segala kebutuhan jasmani, rohani, kayak nikmatin udara terbuka tadi, sesederhana ngerasain butiran pasir ngegerenjel di telapak kaki.

Lalu beberapa saat menjelang hari eksekusinya datang seorang pendeta yang berhasil masuk ke kotak penjaranya setelah beberapa Mersault menolak keras berkali-kali. Pendeta tidak tahu diri itu bicara tentang Tuhan, dosa-dosa, dan hidup setelah kematian yang menurut Mersault Malang memuakkan. Untuk pertama kalinya, dia begitu emosional, kalap, dan nendang pendeta itu buat enyah dari tempatnya.

Karena sebenernya yang dia pengenin menjelang kematiannya ini cuma ketenangan. Toh bagaimanapun, sebenernya dia siap. Dia siap menghadapi apapun. Orang-orang seperti pendeta yang bawa-bawa kepercayaannya dirinya sendiri dan kelompoknya itu nggak usah khawatir, Mersault udah lebih dari siap. Kita udah liat pandangan sederhananya dia tentang pernikahan dan hal-hal lainnya dalam hidup.

Same as death, there is nothing special about it.

2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun