Mohon tunggu...
Arini Saadah
Arini Saadah Mohon Tunggu... Penulis - Suka nulis, tapi tidak tahu apa yang hendak ditulis.

Pernah menjadi mahasiswa di salah satu Perguruan Tinggi di Ponorogo.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membaca Hakikat Kopi dan "Kemasan" Kopi dari Jejak Kapitalisme Negeri Ini

1 Februari 2020   06:20 Diperbarui: 1 Februari 2020   06:26 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perjuangan kelas yang dilakukan oleh Karl Marx dan Engels saya kira tidak akan menemukan jalan keberhasilan. Dalam Manifesto Komunis sudah dibicarakan fakta historis mengenai kelas-kelas antagonisme sejak zaman Romawi hingga zaman modern. Faktanya, dari sejumlah antagonisme, hanya tertinggal dua kelas antagonisme dalam dunia modern, yaitu borjuasi dan proletariat.

Keberadaan kelas-kelas tersebut dipupuk oleh kaum borjuasi modern, sehingga tumbuh subur mencipta 'kelas' yang semakin jelas. Sebenarnya, istilah kelas ini baru populer dalam bahasa Inggris dan Eropa Barat ketika revolusi industri. Gagasan tentang kelas ini digunakan oleh para sejarawan dunia untuk mempelajari evolusi di belahan bumi Eropa modern.

Akan tetapi, kelas yang dimaksud oleh Marx dan Engels dalam Manifesto adalah kelas dalam pengertian sosial.  Kelas sosial semakin mencipta jembatan pemisah antara si miskin dengan si kaya. Lebih tepatnya, kelas yang dimaksud kedua tokoh tersebut merujuk pada hubungan ekonomi, yakni tentang pekerjaan dan pendapatan seseorang.

Telah kita ketahui bahwa hubungan ekonomi erat kaitannya dengan soal komiditi. Komoditas menjadi akar persoalan produksi. Karena menurut Marx dalam Das Capital, kemakmuran dalam sebuah masyarakat ditentukan oleh corak produksi kapitalis. Corak produksi kapitalis inilah yang sebenarnya sangat berpengaruh pada persoalan-persoalan ekonomi lainnya seperti sewa, tenaga kerja, nilai lebih, keuntungan, dan harga produksi.

Harry Cleaver yang juga mengkaji pemikiran Karl Marx tentang komoditi, memberikan jawaban atas mengapa Marx memulai kajiannya dengan bahasan komoditi. Harry menjawab, karena komoditi bagi Marx merupakan hal yang paling dasar dari kapital. Inilah mengapa, Marx menjelaskan bahwa kemakmuran kaum borjuasi menampakkan dirinya dalam wujud komoditi.

Artinya, hal yang fundamental bagi kapital adalah bagaimana mencetak untung yang berlipat, dan bukan membangun hubungan dengan pihak lain dan pasar. Sehingga, corak kapitalis dalam proses produksilah yang dipakai untuk menjembatani keuntungan itu. Bagaimana sebuah komoditas ditampilkan dengan intervensi faktor lain, seperti nilai alat produksi, nilai tenaga, nilai suasana, dan nilai kenyamanan yang ditawarkan.

Saya jadi berpikir, mungkin inilah yang membuat nilai segelas kopi akan berbeda harganya apabila dijual di caf modern daripada sekedar di warung kopi biasa di trotoar jalan. 

Hal ini menyebabkan kopi yang dipercaya sebagai ruang rakyat akan berubah menjadi hegemoni ketika masuk dalam ruang kaca. Yakni ruang dengan tampilan mewah dan diolah dengan cara yang bagi saya tidak lumrah serta menggunakan alat produksi berupa mesin-mesin mahal.

Beberapa waktu yang lalu, saya diajak ngopi oleh kawan saya di sebuah caf di kota saya tinggal. Saya cek menunya, dan saya tidak menemukan angka bersahabat kecuali hanya satu menu yaitu kopi ampas alias kopi hitam biasa. 

Karena saya tidak minum kopi hitam (dengan alasan medis), maka saya memesan Latte Original. Jujur, saya tidak pernah minum kopi dengan nama-nama aneh semacam itu. 

Bukan karena saya tidak mampu membelinya, akan tetapi bagi saya sangat sayang apabila uang belasan hingga puluhan ribu yang saya hasilkan dari kerja seharian hanya untuk membayar segelas kopi. Dan ternyata saya paham, bukan kopinya yang mahal, akan tetapi 'ruang' yang ditawarkanlah yang membuat segelas kopi menjadi mahal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun