Mohon tunggu...
Katak kecil
Katak kecil Mohon Tunggu... Mahasiswa - di emper pondok ar-Rohman

Keringkan rumput selagi mentari bersinar.(***)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Belajar dari Alam: Tentang Kasih Sayang dan Keharmonisan

25 Januari 2022   15:53 Diperbarui: 25 Januari 2022   21:42 511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bersama-sama mereka berjalan, menuju ladang jati milik Pamannya Zaki. Tidak terlalu jauh, melintasi jembatan kayu yang sudah, semak-semak belukar, dan jalan berbatu yang lumanya menanjak. Mereka tak kenal takut, tetap melintasi lelikuan jalan yang justru menyenangkan kata mereka. (***) 

Tak lama kemudian, sampailah mereka di ladang jati tepat pandangan mereka serentak tertuju pada Paman Zaki, yang sedang menanam bibit-bibit jati di sebelah utara ladang. Langsung menghampiri sang Paman, membantunya membuat lubang-lubang tanah untuk Kemudian ditanami bibit-bibit jati. Ada sekitar 10 bibit, dan 3 bibit sudah ditanam. Tanpa lama, kami berbagi tugas menanam semua bibit yang belum ditanam. Selain itu, setelah selesai menanam setiap bibit-bibitnya kita juga bersama-sama, menyiraminya. Beberapa saat, tinggal satu bibit lagi yang belum ditanam. Kami pun menghampiri Paman. 

"Paman, jadi bagaimana cara merawat bibit-bibit pohon jati setelah kita menanamnya, boleh kami tau Paman?" tanya Dina tinggi rasa penasarannya. 

"Boleh sekali" sahut Paman. 

"Perawatan bibit dan pohon jati sebenarnya cukup mudah, hanya perlu ketelatenan. Perawatannya dapat dilakukan dengan penyulaman pada bibit yang mati, kemudian melakukan pemupukan Selain itu juga dilakukan pemangkasan ranting, agar batang utama dapat tumbuh secara optimal. Maka setelah mencapai usia sekitar 12 hingga 20 tahun, jati-jati baru bisa dipanen". penjelasan Paman. Zaki, Dina dan yang lainnya hanya mengangguk-angguk, mungkin sudah terjawab lengkap rasa penasaran mereka. 

Di tengah percakapan itu, tiba-tiba... 

"Gedubrakkk" 

"Joniii!?" Dina, Lala, dan Zaki serentak teriak kaget. Melihat Joni tersungkur di tanah, aneh, seperti ketakutan. Badannya gemetar, keringat dingin di dahi hingga wajahnya, bercampur dengan warna kulitnya yang sawo matang. 

"Ada yang ingin aku ceritakan kepada kalian." "Jadi ketika kalian menanam bibit-bibit jati tadi, aku iseng berjalan mendekati pohon mangga di pojok itu. Aku lihat buah mangganya banyak yang masak, melihat kalian masih sibuk menanam dan aku tak sabar ingin makan daging mangga yang pasti manis itu, akhirnya berani aku memanjat sendiri pohonnya. Aku berhasil menjatuhkan banyak mangga masak, sambil tak sengaja kakiku menekan-nekan batang mangga bahkan ranting-rantingnya banyak yang patah dan berjatuhan. Tapi tiba-tiba ada kawanan semut merah datang menyerbu, menggigit kulit kedua kaki dan tanganku. Sampai membuatku terjatuh, dari atas pohon itu. Anehnya, tiba-tiba betul aku lihat pohon itu ternyata bisa berbicara. Aku sempat berpikir, apakah aku sedang bermimpi? Ternyata tidak. Pohon itu benar-benar berbicara. Pohon itu Kemudian berkata kepadaku, "Hei, anak lelaki! Tidak masalah jika kau panjat aku, sebab kau ingin mengambil dan memakan buah-buahku yang telah masak. Tapi apa yang telah kau lakukan selain itu? Kau tau, kau telah menekan-nekan badanku, juga mematahkan banyak ranting-ranting muda, sebagai calon dahan baru. Dahan-dahan baru yang nantinya akan menumbuhkan dedaunan dan bunga itulah, yang akan berkembang menjadi buah." "Kau telah menggagalkan harapanku untuk jadi pohon yang tumbuh lebih besar dan bermanfaat. Tidak hanya itu, andai kau tau, seluruh badan ku ini rasanya sakit semua, karena sikapmu yang tidak bertanggung jawab itu!" 

Joni hanya terdiam, masih kaget dan kebingungan dengan melihat kenyataan di depannya, si pohon mangga yang ternyata bisa berbicara. 

"Aku hanya ingin memberitahumu. Bagaimana sikap toleransi yang harus ada antara kita. Kau sebagai manusia dan aku sebagai tumbuhan. Sekali lagi, tidak apa kau ambil buah-buahku, tapi mohon, jangan rusak batang dan rantingku! Ketika kau melakukan itu, kau tidak hanya merusak diriku, tapi juga menyakiti perasaan dan perjuangan Paman yang telah merawatku. Paman telah memberikan kasih sayangnya kepadaku, menyiramiku secara rutin, memberikan pupuk secara bertahap. Pada saat yang tepat, buah-buahku pun dipanennya, tanpa sedikitpun Paman merusak batang maupun ranting-rantingku. Dengan lemah-lembut Paman menjagaku, agar aku tetap bisa berkembang dan berbuah waktu demi waktu, tentu meletakkan harap buah-buahku akan membawa banyak manfaat. Sebegitu tulus Paman menyayangiku, layaknya kepada sesama manusia, sama seperti kepada keluarga dan anak-anaknya sendiri." 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun