Mohon tunggu...
Katak kecil
Katak kecil Mohon Tunggu... Mahasiswa - di emper pondok ar-Rohman

Keringkan rumput selagi mentari bersinar.(***)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Belajar dari Alam: Tentang Kasih Sayang dan Keharmonisan

25 Januari 2022   15:53 Diperbarui: 25 Januari 2022   21:42 511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Anakku, Tapi Ibu mau kamu habiskan sarapanmu! Itu tinggal sedikit lagi, tak akan lama jika kamu menghabiskannya sekarang. Akan mubadzir Dina jika kamu tidak memakannya. Lagi pula ini masih terlalu pagi Dina, Pakpuh saja belum berangkat ke sawah!" perintah Ibunya. 

"Iya memang masih pagi Bu, sengaja Dina dan teman-teman akan berangkat pagi-pagi. Supaya lebih lama bermain-main di ladangnya. Dina sudah kenyang sekali Bu. Kalau nanti Dina lapar, masih ada bekal nasi goreng yang sudah Ibu buatkan" jawabnya dengan harapan Ibu bisa memahami maksudnya. 

"Dina! Ibu mengerti maksud kamu, tapi tolong jangan banyak alasan, bahwa kamu sudah kenyang! Dina, Ibu tidak marah padamu. Hanya saja, Ibu mau kamu menghargai sarapan itu. Di situ ada nasi, sayur, dan lauk pauknya. Mereka adalah bagian dari nikmat yang Alloh berikan kepada kita. Mereka juga ingin dihargai Dina, tentu dengan kamu menghabiskannya" tegas Ibunya panjang. 

"Hem, Ibu benar" Dina tertegun. 

"Kamu lihat bagaimana jika makananmu itu tidak kamu habiskan dan mubadzir, tentu sama saja itu menyakitkan hati para petani seperti Pakpuh. Para petani telah susah payah menanam padi maupun sayur-mayur, merawatnya sampai pada saatnya dapat dipanen dan dimasak. Tentu kita tinggal menikmatinya Dina. Kita tidak ikut merasakan bagaimana kerja keras mereka saat menanam. Dari peristiwa tersebut, ada buah pelajaran untuk kita. Pelajaran tentang kerja keras, kemandirian, rasa syukur, dan saling menghargai, tentu salah satu dengan cara mau memanfaatkan sumber daya yang ada di alam" panjang penjelasan Ibu. 

"Iya Bu, Dina sadar. Dina akan habiskan sarapannya Bu" Dina menyadarinya. 

"Segera, sebelum terlambat! Nanti kamu bisa ikut berangkat bonceng Pakpuh. Pakai sepeda jengkinya. Ibu tadi sudah matur ke Pakpuh." kata ibunya, tegas.(***)

Sejak kecil Dina memang tumbuh besar di lingkungan desa yang cukup asri. Desa yang berada dekat dengan pegunungan dan berada di tengah-tengah hutan jati. Begitu pula latar belakang sosok ayahnya. Ayahnya adalah seorang Polisi Hutan, tentu memiliki tugas menjaga kelestarian hutan dalam berbagai kepentingan. Berat tapi mengasyikkan tugas sosok Polisi Hutan itu. Maka suatu waktu, Dina sempat ingin menjadi Polisi Hutan, seperti Ayahnya. Dina sangat mengidolakan Ayahnya. Walaupun profesi Polisi Hutan sering tidak Ianggap, tapi sebenarnya begitu besar pengabdian yang dilakukan, demi menjaga hutan-hutan sebagai paru-paru dunia. 

Maka sudah menjadi hal yang biasa jika Dina dan teman-temannya sangat suka berpetualang di lingkungannya, termasuk di ladang jati itu. Ditengah eloknya memandangi pemandangan di boncengan jengki Pakpuhnya, Pakpuh seketika menghentikan kayuhan pedal. Sengaja, Pakpuhnya memang ingin berhenti. 

"Lho Pakpuh, kenapa kita berhenti di sini?" tanya Dina. 

"Tidak ada apa-apa, sebentar ya" jawab Pakpuh. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun