Dalam kehidupan sosial, penggunaan bahasa kini bukan sekadar alat komunikasi antarindividu semata. Namun bahasa bisa menjelma sebagai alat kekuasaan. Kelompok sosial yang dominan memanfaatkan bahasa untuk meraih dan menciptakan kekuasaan.
Pada kontestasi politik, misalnya, bahasa menjadi salah satu arena pertarungan kekuasaan. Bahasa digunakan para kandidat sebagai instrumen untuk memenangkan kursi pemerintahan. Kekuasaan dilaksanakan melalui bahasa dan penggunaan bahasa dipakai untuk berkuasa.
Para kandidat saling adu kekuatan yang diwujudkan melalui bahasa. Mereka menciptakan sistem simbol berupa bahasa, gugus wacana, ataupun slogan untuk ditanamkan kedalam pikiran khalayak. Tujuannya untuk menguasai kelompok sosial masyarakat.
Sistem simbol itu salah satunya diwujudkan melalui penyebaran spanduk maupun baliho pada ruas-ruas jalan. Spanduk itu ditandai dengan ucapan, perkenalan, identitas, foto diri, maupun bahasa politik lainnya.
Sejak penghujung tahun 2019, ruang publik Kota Makassar dan sejumlah kabupaten lain sudah mulai diramaikan spanduk politik sebagai sistem simbolik. Elite politik menyasar khalayak yang berkendara di jalan. Masyarakat menjadi konsumen teks.
Ruang publik kini menjadi arena pertarungan kekuasaan. Individu ataupun kelompok sosial ingin dikuasai lewat bahasa. Bahasa dimanfaatkan untuk kepentingan kelompok politik yang dominan. Pelaksanaan kekuasaan lewat bahasa pun terjadi di ruang publik.
Tahun 2020 memang akan menjadi tahun politik. Hal itu ditandai pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak. Ada dua belas kabupaten/kota yang akan menghelat pilkada serentak di Sulawesi Selatan.
Pierre Bourdieu (1992:157) mengungkapkan penggunaan sistem simbolik untuk melanggengkan kekuasaan merupakan kekerasan simbolik. Kekerasan simbolik berlangsung secara halus dan dirasakan seolah-olah sudah semestinya seperti itu. Ada pemaksaan sistem simbolisme yang dialami konsumen teks sebagai sesuatu yang sah.
Para kandidat bupati/walikota menjalankan praktik kekuasaan dan pemaksaan sistem simbol secara halus kepada khalayak tanpa disadari oleh yang dikuasainya. Kekerasan simbolik dialami oleh kelompok masyarakat sebagai sesuatu yang sah. Kekuasaan terasa wajar, normal, bahkan tak terlihat.
Begitulah mekanisme kekerasan simbolik kandidat bupati/wali kota bekerja. Kebudayaan dalam tatanan kehidupan sosial memperkuat relasi kuasa kandidat bupati/wali kota itu.
Di Kabupaten Gowa, misalnya, beragam slogan simbolik mulai bermunculan. Bupati Gowa petahana Adnan Purichta Ichsan menggunakan simbolik "Doboloki", bahasa Makassar bermakna dua kali atau dua periode.
Namun konteks Pilkada yang sedang berlangsung tak bisa dipisahkan. Itu menandakan "Doboloki" merupakan kuasa simbolik, sekaligus penegasan petahana maju kembali. Slogan simbolik itu menandakan Adnan telah menabuh gendang pertarungan kepada para penantang yang berani melawan.
Sementara pemilihan bahasa Makassar dimaksudkan untuk mendekatkan dirinya kepada warga pribumi, karena bahasa merupakan identitas sosial. Ia ingin menegaskan bahwa dirinya adalah bagian dari warga pribumi. Adnan memang adalah putra Gowa, yakni cucu pejuang kemerdekaan asal Bontonompo, HM Yasin Limpo.
Sebelumnya, seorang penantang bernama Darmawansyah Muin sempat menggunakan slogan simbolik. Ia memilih kosakata "Gowa Berua", bahasa Makassar bermakna Gowa Baru. Jika diselisik, slogan simbolik itu disampaikan guna menanamkan pesan kepada khalayak tentang kehadiran pemimpin baru di Gowa.
Simbolik itu digaungkan untuk menyatukan dan merangkul orang-orang yang menginginkan pemimpin baru. Termasuk penyampaian pesan opsi pemimpin baru untuk Gowa yang telah dipimpin klan Yasin Limpo selama lima periode berturut-turut.
Sama seperti Adnan, Darmawansyah Muin turut memainkan bahasa Makassar untuk mendekatkan diri dengan masyarakat pribumi. Politikus Partai Gerindra mencoba menyampaikan pesan bahwa dirinya adalah pemimpin yang lahir dari keluarga pribumi.
Darmawangsyah memang seorang putra Gowa. Ia adalah cucu Letnan Jenderal Her Tasning yang diabadikan namanya menjadi jalan.
Tak ketinggalan, salah seorang kandidat lainnya, Nurhikmah Daeng Cora, memainkan simbolik "Corana Gowa". Ia turut memilih bahasa Makassar sebagai penanda identitas pribumi.
Cora bermakna cahaya yang terang benderang. Maka simbolik Corana Gowa ingin menyampaikan pesan bahwa Daeng Cora adalah calon pemimpin pemberi cahaya bagi masyarakat.
Uraian di atas adalah contoh realitas dalam kehidupan sosial kita. Bahasa dan kekuasaan hadir dalam sendi-sendi kehidupan. Norman Fairclough (1989) mengatakan bahwa bahasa merupakan praktik sosial.
Penalaan terhadap bahasa bukan hanya penalaan terhadap struktur linguistik semata, tetapi juga penalaan terhadap kehidupan sosial. Kekuasaan tidak terpisahkan dari interaksi sosial dan akan memperoleh maknanya dalam interaksi sosial itu. Menguasai bahasa berarti menguasai sumber-sumber sosial itu.
Tulisan ini dimaksudkan agar kita sebagai konsumen wacana bisa memahami mekanisme kerja dari kuasa simbolik di ruang publik. Bahwa dalam wacana politik, ada realitas yang coba dikaburkan oleh produsen wacana. Kita sebagai konsumen teks tidak boleh menjadi korban kekerasan simbolik di ruang publik. (*)