Mohon tunggu...
Ari Indarto
Ari Indarto Mohon Tunggu... Guru - Guru Kolese

Peristiwa | Cerita | Makna

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Pagi Ini, Hujan Itu Melunturkan Kemarahanku

4 Februari 2023   05:00 Diperbarui: 4 Februari 2023   05:02 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Tiga jam tertidur. Tertidur. Ya, semalam tiga jam tidak terasa. Tertidur di sofa, sambil memeluk laptop yang yang tak sempat terputus energinya. Laptop itu tetap menyala, sementara layar masih begitu kentara menunjukkan angka-angka. Berjuta-juta angka itu muncul dan terbawa dalam mimpi.

 Aku tertidur dalam pusaran kelelahan. Belum selesai, belum usai, tatkala pagi menyingkirkan mimpi yang selalu saja tertunda dan belum selesai. Rasanya malam selalu terasa begitu singkat, sementara masa tua rasanya semakin menggila dan menggrogoti tulang yang semakin keropos.

Udara pagi ini terasa menusuk, mencoba menghentikan kemauan keras dalam hati untuk berlari menyingkap kehendak yang tak usai digilir matahari. Semua seolah berjalan seperti biasa. Usai mata terbuka, sebagian ingatan tertuju pada keluarga. Anak dan istri selalu menjadi misteri yang menusuk kehendak untuk tetap bertahan  meski kelelahan itu semakin mendalam. Pagi ini, semuanya harus berjalan seperti biasa. Tidak ada rasa lelah, tidak ada rasa nestapa. Perjalanan ini harus terus dimulai dan jangan pernah berakhir pada kepasarahan dan ketakutan. 

Rasa lelah

Rasanya mulai terbiasa harus berjalan dalam keraguan dan kelelahan. Tas kecil ini pun menjadi teman untuk memulai jalan di pagi sendiri. Motor putih melaju begitu cepat menerobos genangan air yang membalut jalan yang semakin hari semakin dalam berlubang. Perlahan perjalanan ini harus selalu dimulai. 

Ketika pertengahan terlewati. Aspal yang mulai mengelupas, tanah bercampur gerimis air hujan, sementara rumput seolah bercerita tentang embun yang mulai terampas truk-truk sampah Ibu Kota. Rintik-rintik hujan pun mulai menenggelamkan kehendak yang terlupa. Gerimis ini mulai membesar menjadi butiran hujan menyebar menuntaskan pagi. 

Hujan pagi ini. Hujan menghentikan langkah mengejar kereta. Guyuran hujan mulai membasahi sekujur tubuh dan mulai menjarah celah di antara anyaman benang yang menempel di tubuh. Perjalanan air menunda langkah dan kepastian untuk sebentar berteduh. Bukan sebuah tanda menyerah pada perang. Pagi ini, perjalanan terhenti. Tidak tampak lalu lalang, tidak tampak hilir mudik seperti pagi lain. Pagi ini bukan seperti biasanya. 

Rasanya ingin pulang saja. Menyerah pada hujan biasa. Tetapi, ketika suara mutor melintas, rasanya begitu kuat ingatan mengembang. Motor merah dengan jari-jari karatan termakan usia mengingatkan pada sesosok bayangan yang tak  mungkin hilang. Sekejap suara itu muncul dan mulai menghilang. Sementara guyuran hujan semakin keras. Semakin kuat air-air hujan menghujan jalanan beraspal . Ada kenangan yang tiba-tiba melintas terguyur hutan yang tak kan bosan memnberikan kehidupan jutaan manusia. Hujan pagi ini. 

Bapak

Guyuran hujan belumn juga usai, sementara bayangan terlintas dalam dan jelas tergambar dalam genangan air hujan. Semakin jelas bayangan itu. Pada akhirnya melahirkan keajaiban. Pagi ini, orang yang paling aku cintai tiba-tiba hadir. Kehadirannya begitu jelas, seolah mengakhiri kemarahan yang berawal di pagi ini. Wajah itu menghilangkan kelelahan yang tak mungkin sirna. Wajah itu begitu kuat menghentikan segalanya. 

Ternyata bapak bisa hadir dalam situasi apapun. Wajah tua, rambut memutih, kulit keribut yang semakin merata hadir membawa kerinduan. Bapak hadir pagi ini menemani kegundahan dan harapan. Dalam seluruh kehidupan, perjalanan kehidupan sampai kini tanpa kemarahan. Bapak tidak pernah marah sekipun saat itu kami berlima selalu bertengkar. Bapak begitu sabar menunggu kami untuk kembali baik. Begitulah, dalam ingatan kami, bapak hidup tanpa amarah dan dendam. Itulah yang selalu membawa kami untuk selalu ingat akan wajah yang begitu kuat dan perkasa itu. 

Perjalanan pagi ini berlanjut. Menembus hujan menentang kemarahan. Hujan menghentikan kelelahan, kenangan melintas, mengharapkan bersua. Selamat pagi, Bapak. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun