Mohon tunggu...
Ari Indarto
Ari Indarto Mohon Tunggu... Guru - Guru Kolese

Peristiwa | Cerita | Makna

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Baju Adat dan Realitas Keberagaman

27 November 2022   15:37 Diperbarui: 27 November 2022   15:39 451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia, negara superkaya di muka bumi. Bukan hanya kaya alam hasil alam, kita begitu kaya akan keindahan alam, bahasa, budaya,dan adat istiadat. Namun, apakah anak-anak kita siap menerima warisan kekayaan itu?  

Pernah membaca novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata atau  menonton film Laskar Pelangi garapan Riri Reza? Sebuah film yang menggambarkan  semangat dan kegembiraaan  anak-anak dalam menggapai cita-cita.  Meski kehidupannya tidak seberuntung anak-anak yang hidup di kota seperti Jakarta, tetapi persahabatan di antara mereka tidah runtuh hanya karena keadaan. Apalagi jika melihat bagaimana sekolah harus tetap berdiri kokok mempertahan pendidikan karakter anak-anak pinggiran Belitung. Keadaan yang nyaris terhimpit di antara berbagai keinginan ekonomi dan ini tergambar dalam wajah-wajah guru.

Laskar Pelangi seolah menjadi penanda kehadiran kebebasan untuk belajar bagi anak-anak Belitung dan juga Indonesia. Bagaimana tidak, disela-sela keterbatasan masih tersisa semangat juang yang tak terkira. Yang lebih indah, mereka menggambarkan keberagaman kehidupan. Kita tidak akan pernah tahu apakah yang akan terjadi jika mereka harus menelan materi-materi pembelajaran anak kota, menikmati permainan individual anak kota atau menggunakan penyeragaman ala anak-anak kota. Apakah kegembiraaan itu akan tetap hadir di hati mereka?

Dalam cerita Laskar Pelangi digambarkan bagaimana anak-anak akan mengikuti lomba cerdas cermat. Bagi anak-anak pinggiran Belitung, ini adalah hari istimewa. Anak-anak akan dilihat begitu banyak orang. Anak-anak akan membuktikan bagaimana sekolah di mata sekolah-sekolah lain. Bu Mus harus meyakinkan bahwa anak-anak yang akan mengikuti cerdas cermat adalah anak-anak pilihan. Sekolah ini adalah sekolah pilihan, meskipun sederhana dan apa adanya. Maka, Bu Mus secara khusus menyiapkan seragam.  

Belum Merdeka?

Bisa jadi Laskar Pelangi tidak menggambarkan kita saat ini, tetapi kita masih ingat dengan berbagai aturan dan tekanan saat Orde Baru. Segalanya dibuat sama, Dalam hal makan pun seluruh rakyat diharuskan sama, bahkan sampai ke pelosok desa. Rakyat Indonesia harus makan nasi. Maka, sebagian rakyat yang tadinya makan ubi harus berganti nasi. Sebagaian rakyat yang makan jagung harus menelan gengsi dengan makan nasi. Sebagian rakyat yang makan tiwul pun harus  herhenti dan beralih untuk makan nasi. Padahal, kita mempunyai begitu banyak hasil alam yang bisa kita makan.

Tidak hanya masalah makan, bahkan materi belajar pun pada akhirnya dimonopoli. Anak Jakarta sampai ujung Papua harus menelan materi pelajaran yang sama. Sebuah bentuk pemiskinan masyarakat.

Apalagi kemudian kebijakan-kebijakan pendidikan tidak lagi berdasar kekhasan budaya bangsa. Penyeragaman dihadirkan di sekolah-sekolah. Pakaian SD ya, harus khas merah-putih. Pakaian SMP, tidak boleh warna lain, selain biru-putih, dan pakaian pelajar SMA wajib abu-abu putih. Seragam sekolah menjadikan kita, seperti tidak punya apa-apa. Tidak heran, anak-anak kita tidak tahu ada begitu banyak kekayaan busana kita.

Begitulah kebijakan saat itu, kita diseragamkan dalam segalanya, termasuk pilihan politik. Kita seperti belum merdeka.
Bagaiman pemerintah saat itu  berusaha untuk mempersamakan, segala sesuatu dibuat sama, apa yang kita makan, apa yang kita pakai. Seragam untuk seluruh sekolah dari ujung Aceh sampai ujung Papua; seluruh sekolah harus menggunakanseragam sama, model, warna, bahkan bisa jadi perusahaan yang menyuplai pun juga sama.

Kekayaan Kita

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun