Mohon tunggu...
Ari Indarto
Ari Indarto Mohon Tunggu... Guru - Guru Kolese

Peristiwa | Cerita | Makna

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Berjaga di Dalam Keramaian, Siaga di Tengah Kerumunan

3 November 2022   06:40 Diperbarui: 3 November 2022   06:48 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aliansi Suporter Kanisius beraksi; tetap waspada (Dok. Instagram Alaska CC)

Kerinduan masyarakat akan kenormalan baru pancapandemi seperti terjawab sudah. Tempat wisata, mal, hotel, dan stadion riuh dengan berbagai kegiatan dan penyelenggaraan acara. Masyarakat lebih hidup, ekonomi membaik, mobilitas bangkit. Namun, euforia kegembiraan memunculkan kegamangan baru.

Dua tahun lalu, ketika pandemi terjadi, interaksi masyarakat mulai berubah. Masyarakat mulai terbiasa bekerja di rumah, belajar di rumah, berdagang dari rumah. Rumah menjadi lahan maha luas seperti istana. Pedagang-pedagang online berkembang begitu pesat. Kantor-kantor mulai memindahkan komputer-komputer ke rumah-rumah. Sekolah pun mulai dilakukan dengan online; interaksi guru-murid begitu terbatas. Situasi kota mulai sepi. Angkutan umum mulai jarang penumpang, bahkan terpaksa harus dikandangkan. Semua terjadi begitu cepat, dan kita harus cepat pula menyesuaikan. 

Dalam dua tahun, keramaian dan hingar-bingar terjadi melalui media-media sosial; twitter, instagram, facebook, telegram, youtube, tiktok menjadi alat pemersatu untuk saling terhubung satu sama lain.  Bius media sosial setiap hari dengan berbagai tema dan masalah. Maka, selama dua tahun berita bohong menjadi menu pagi, siang dan sore, bahkan malam. Tidak terhindarkan, situasi yang mengharuskan orang menerima dan mengirimkan pesan tanpa tahu salah-benar. Suguhan kegiatan dalam rumah begitu terbatas dan terasa melelahkan. Saat itulah, keramaian fisik telah berubah menjadi keramaian semu di media sosial. 

Kebangkitan Pascapandemi

Pascapandemi, masyarakat mulai melakukan aktivitas seperti biasa. Mobilitas untuk bekerja kembali bangkit. Tempat wisata, tempat belanja, restoran, museum, taman hiburan, perpustakaan dan bioskop mulai dipenuhi pengunjung. Masyarakat seperti kembali membabi buta untuk menghilangkan kepenatan yang tak tertahankan selama dua tahun. Perusahaan, pabrik, kantor, tempat bekerja mulai dipenuhi karyawan dan kembali membuka lowongan pekerjaan. Pencari kerja mulai berduyun-duyun menemukan pekerjaan yang cocok dan pas. Jauh - dekat tidak menjadi masalah, karena moda transportasi kemanapun tersedia. 

Kenormalan baru dimulai, dan keramaian pun terjadi dimana-mana. Kemacetan ibu kota menjadi tanda, bahwa kehidupan kota sudah dimulai seperti sediakala.   

Tidak dapat dihindarkan, moda-moda transportasi semakin ramai; kereta berjejal-jejal penumpang, bus berdesak-desakan pelanggan, bahkan ojek online mulai dipenuhi order yang tak terbatas. Bukan hanya di jam kerja, namun setiap waktu mulai terlihat lalu lalang, dan di tempat-tempat tongkrongan, pada pekerja dan karyawan mulai berkerumun begitu ramai. Begitulah yang terus terjadi sampai hari ini. Setiap pagi, siang, sore, bahkan malam, kereta commute line penuh tidak kenal waktu, bus trans Jakarta dari pagi buta siap menerima pekerja untuk ngantor, trasportasi online pun tidak ada yang sep penumpang. Semuanya berjalan normal, mendukung satu tujuan; bahwa pekerja harus tetap bekerja dan tidak terlambat. 

Meski di tempat-tempat umum larangan untuk berkerumuan masih terpampang begitu jelas, keramaian tak bisa dihindarkan. Jaga jarak yang selalu dikumandangkan di berbagai tempat umum, sepertinya hanya menjadi hiasan suara. Bahkan tidak jarang orang-orang mulai sengaja  melepas master, seolah tidak terjadi apa-apa di sekitar kita. Inilah kenormalan baru, yang disambut dengan gegap gempita masyarakat. Di ibu kota situasi ini semakin kentara. Di sana-sini mulai terasa, kemunculan tempat-tempat keramaian baru, kerumunan baru. 

Sambutan yang begitu riuh pun pada akhirnya memunculkan berbagai masalah baru, bahkan korban karena berbagai peristiwa yang diawali kerumunan acara pun terjadi. Di Malang, 135 penonton sepakbola meninggal karena keributan di tengah kerumunan yang tak tertangani dengan baik; di Iteawon, Korea, sebanyak 154 orang meninggal karena perayaan Hallowen benar-benar nyata menghadirkan kengerian nyata; dan di Morbi, Gujarat, India, 134 warga yang sedang menikmati kegembiraan harus meregang nyawa karena jembatan gantung ambruk tak berdaya.  

Siaga di Tengah Kerumunan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun