Mohon tunggu...
Arif Setya
Arif Setya Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Imperialisme Baru dan Umat yang Tertidur

28 Januari 2018   05:37 Diperbarui: 28 Januari 2018   11:12 936
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel The Da Vinci Code, rasanya dapat  mengantarkan kita pada sebuah dunia terselubung (dan fantasi) ala-ala Dan Brown. Kita akan diajak mengikuti perjalanan Robert Langdon dalam menguak rahasia The Priory of Sion, sebuah gerakan terselubung yang diduga melindungi rahasia besar yang dapat mengancam umat Kristen : The Holy Grail. Dan Brown dengan apik menunjukkan bahwa Holy Grail (atau yang kita kenal sebagai Cawan Suci) hanyalah sebuah simbol. Simbol sebuah dokumen turun-menurun yang diperkirakan menyimpan kebenaran status kesucian Yesus, dan keturunan-keturunannya hingga masa modern.

Penggambaran Holy Grailbe serta The Priory of Sion oleh Dan Brown memang menuai banyak kontroversi. Namun yang menarik, terdapat sebuah distorsi sejarah (yang jika benar) dapat mengguncang kehidupan beragama kita sekarang. Bahwa teks-teks kitab suci, khususnya Kristen, patut dipertimbangkan ke-otentikannya. 

Penyelewengan isi dari kitab suci memang sudah menjadi polemik panjang di berbagai agama. Agama Islam dengan Al Qur'an tentu juga tidak lepas dari polemik ini. Ayat-ayat setan yang keluar dari Salman Rushdie misal, menunjukkan satu dari banyak usaha untuk mempertanyakan keotentikan Al Qur'an. Kitab suci Islam namun begitu, justru memiliki isi yang unik. Al Qur'an sendiri justru menyebutkan banyaknya nama-nama Nabi dalam Al-Qur’an. Hal tersebut dapat menunjukkan bahwa, terjadi pendistorsian kisah sejarah para Nabi-nabi terdahulu dalam kitab suci lain yang coba “dikoreksi” oleh Al Qur’an.

Contoh distorsi dalam agama Yahudi dan Nasrani misal, dituliskan bahwa para nabi mereka membawa agama non-Islam: Yahudi atau Nasrani. Al-Qur’an menegaskan kedua agama (diin) ini bukan ciptaan Allah. Penolakan ini dipertegas oleh Allah dengan wahyu-Nya, la nufarriqu baina ahadin minhum wa nahnu lahu muslimuun — tidak ada seorang nabi pun yang berbeda ajarannya, keseluruhannya adalah Muslim (QS 2:136 dan 3 : 84).

Karena adanya pendistorsian-pendistorsian dalam penurunan wahyu, maka Allah menurunkan kitab yang menyempurnakan kitab-kitab sebelumnya. Itulah kitab yang terpelihara — muhaiminan — dalam Al — Qur’an (QS 5 : 48). Dengan demikian, Al Qur’an yang bersifat benar (mushshadiqan) dan terpelihara (muhaiminan) sudah mengandung kitab-kitab suci yang lain, baik Taurat — Nabi Musa as, Zabur — Nabi Daud as, dan Injil — Nabi Isa as. Inilah sebabnya umat Islam wajib mengimani empat kitab suit: Taurat, Zabur, Injil, dan Al Qur’an, karena keempatnya ada dalam Al Qur’an. Sebaliknya juga bukanlah kitab suci yang benar, walaupun namanya Taurat, Zabur, Injil bila terlepas pengertiannya dan tidak berdasar Al Qur’an.

Al Qur’an banyak mengandung kisah (qashash) yang berupa ihwal umat yang telah lalu, nubuwat (kenabian) yang terdahulu dan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi. Syaikh Manna Al Qaththan (2015) menjelaskan berbagai hikmah akan adanya kisah-kisah dalam Al Qur’an. Salah satu hikmah tersebut kemudian yang dibahas oleh oleh Ahmad Mansur Suryanegara dalam pembukaan bukunya, Api Sejarah (jilid pertama). Hikmah itu adalah guna menyingkap kebohongan ahli kitab, dengan cara membeberkan keterangan yang semula mereka sembunyikan.

Mulai dari sini, dapat dipahami bahwa sesungguhnya pemahaman tentang sejarah memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan kita sekarang. Al Qur'an sendiri, yang merupakan kitab rujukan umat muslim, menunjukkan perhatian yang besar terhadap distorsi-distorsi dalam sejarah.  Boleh dibilang, sejarah yang telah membentuk identitas kehidupan kita sekarang ini. 

Lalu bagaimana dengan Sejarah-sejarah lain yang kita telan pasca Al Qur'an turun? 

Berbeda dengan Al Qur’an yang kekal, penulisan ulang “kisah-kisah” dalam peradaban Muslim telah dilakukan oleh tokoh dan waktu yang berbeda pada tiap masanya. Indonesia beruntung memiliki pakar-pakar sejarah, yang diantaranya berusaha untuk menulis kembali sejarah dari perspektif seorang Muslim. Beberapa cendekiawan Muslim (seperti Badri Yatim, Ahmad Mansur S., dsb) bahkan sudah mendedikasikan karya-karya mereka tersendiri untuk menguak sejarah masuknya Islam ke Indonesia.

Ajaran Islam sudah masuk ke Nusantara sejak abad ke-1 H/7M. Dibawa oleh para wirausahawan Arab yang singgah sejenak di kota pelabuhan dan daerah-daerah sepanjang pantai. Periode ini merupakan awal pengenalan ajaran Islam dan penerimaan ajaran Islam. Hal ini terjadi pada abad 1 H — 5 H atau abad ke-7 M hingga abad ke — 12 M.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun